Bab 1

51 7 0
                                    

Hidup harus dijalanin sekeras apapun ia. Percayalah Tuhan tidak akan membebani hambanya melainkan pada kemampuannya sendiri.

Senja tergugu menatap selembar kertas di depannya. Ia terduduk kemudian menangis tanpa suara. Bahunya tergoncang hebat. Air matanya seolah telah kering. Ia habiskan untuk menangisi dirinya sendiri. Hei, apakah dia selemah itu? Jawabannya tidak. Selama ini Senja adalah gadis kuat. Bukan gadis cengeng. Ia adalah seorang primadona di SMA nya. Ia aktivis organisasi. Dan sudah tak terhitung lagi, berapa banyak piala yang ia sumbangkan di sekolahnya. Senja bukan gadis yang mudah menangis. Kecuali disebabkan oleh selembar kertas hasil lab rumah sakit, yang kini ia remas kuat kuat. 'Leukimia'. Penyakit yang sama sekali tak pernah ia sangka akan menyerangnya di usia yang baru menginjak 16 pekan lalu.

Sejak siang tadi Senja tak henti hentinya menangis. Mengurung diri di kamar. Baru lewat 10 bulan selepas meninggalnya Ayahnya karena penyakit yang sama, kini Senja pun juga harus mengalaminya. Dalam artian, hidupnya tak lama lagi bukan?
Ingin rasanya ia berteriak sekencang kencangnya, Menyalahkan takdir.

Namun sekeras apapun ia berteriak. Itu nggak akan sedikitpun mengubah takdir.


Bunda terduduk lemas. Hatinya kalut. Pikirannya melayang. Belum lama ia kehilangan suaminya, sekarang ia juga harus menyiapkan diri untuk kehilangan putrinya. Bunda menggigit bibir. Pandangannya tertuju pada pintu kamar Senja yang terkunci rapat. Sejak vonis dokter di jatuhkan siang tadi. Senja belum juga keluar dari kamarnya. Berkali kali ia membujuk Senja, yang ia dengar hanyalah isakan.
Bunda mengusap sebulir air bening di sudut matanya. Hatinya miris mendengar isakan gadisnya yang tak kunjung berhenti.

Senja mengabaikan suara Bunda yang sejak tadi menyuruhnya keluar.

"Senja, keluar nak. Makan dulu. Kamu belum makan sejak tadi siang."

Senja menggeleng. Tak peduli Bundanya tau ataupun tidak. Itu sudah panggilan kesekian, dari Bunda yang Senja abaikan. Ia ingin sendiri untuk saat ini. Tak peduli meski perutnya berbunyi sedari tadi. Ia belum puas menangis.

Senja melirik jam weker di atas nakas. Pukul 02:15. Senja ketiduran di lantai kamarnya yang dingin. Setelah kelelahan menangis. Namun begitu, ada sebuah selimut tipis menutupi tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan. Di meja ada sepiring nasi beserta lauknya. Plus jus alpukat. Perut Senja berbunyi tidak jelas. Tak dapat ia pungkiri menangis sejak siang sampai malam, membuat ia lelah lahir batin. Segera ia santap sepiring nasi hingga tandas. Lalu meneguk jus alpukat, seperti orang yang nggak pernah minum 3 hari.
Senja menghela napas. Memandang pantulan dirinya di cermin. Ia tampak begitu menyedihkan. Matanya sembab. Bola matanya memerah. Rambutnya acak acakan. Membuatnya seperti tak mengenali dirinya lagi. Memang, ia sudah tak mengenal siapa yang bayangannya terpantul di cermin itu.

***

Bintang menatap iba adiknya yang kini berbaring membelakanginya.

"Lo beneran nggak mau sekolah?" tanya Bintang pada Senja adiknya.

"...."

Hening. Tak ada jawaban.

Bintang menarik napas.

"Senja... Mau sampai kapan lo begini? Lo udah seminggu nggak masuk sekolah. Nggak kangen sama temen temen kamu?"

Perkataan Bintang menembus gendang telinga Senja yang sejak tadi pura pura tidur. Tentu saja ia kangen. Hanya saja ia takut teman temannya akan menghindar begitu tau ia penyakitan.

"Masih mau tidur? Sampai kapan lo gini terus, Sen!? Walaupun lo nggak masuk sekolah setahun. Tuh penyakit nggak akan pergi dari tubuh lo. Harusnya lo manfaatin waktu lo. Jangan cuma tidur aja. Bunda cemas liat kamu kayak gini. Gue juga. Bangun, gih!. Kamu sehat kok Sen."Ceracau Bintang membujuk adiknya. Yang tentunya ini sudah menjadi tugas tambahan selama 7 hari terakhir.

" Kalau emang masih mau tidur yaudah. Kakak tinggal dulu kesekolah. Bunda udah berangkat dari tadi. Kapan gue bisa nonton drakor lagi bareng lo. Padahal kakak udah download banyak serial baru nih."

"..."

"Gimana mau nonton drakor bareng lagi? Kalo yang di ajak malah ngebo." ucap Bintang sembari melangkahkan kaki keluar dari kamar adiknya. Tak peduli kata katanya tadi didengar atau nggak oleh adiknya. Ia dan Senja memang sama sama menggemari serial drama korea. Alasannya, karena alur ceritannya nggak serumit dan sepanjang sinetron Indonesia, plus pemainnya ganteng.

Belum sampai ia memutar kenop pintu, sebuah suara yang terdengar menyedihkan memanggilnya.

"Kakak..."

Bintang terbelalak. Nyaris tak mengenali suara adiknya. Nada kesedihan yang amat sangat. Membuat ia tak kuasa meninggalkan adiknya yang sekarang lebih mirip. Mayat hidup itu.

"Mau sekolah?"

Senja mengangguk. Berusaha tersenyum, yang lebih bisa dikatakan sebagai seringai daripada senyuman.

Bintang memeluk adiknya erat.

"Nah, gitu dong. Itu baru adik gue."

Jujur Senja takut. Ia takut jika teman temannya akan .enjauhinya begitu tahu ia anak yang penyakitan dan nggak lama lagi waktu hidupnya.

Para pembaca yang baik. Jangan lupa tinggalkan jejak!

FAJAR- The Sun After SetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang