PROLOG

786 32 3
                                    

A/n:
Entity hanya ditulis suka-suka. Saat Ennve memang suka menulisnya, maka akan kutulis. Berhubung genre horror, Ennve kadang juga ngelamin hal-hal tersebut, mungkin sebagian akan ditulis berdasar pengalaman Ennve. Jadi stay tune.

Semoga suka kisah Nathan!

_______________________

Semua teman-temanku satu demi satu berlari di koridor kelas. Langkah mereka cepat, sedangkan aku seperti kura-kura, aku tidak terburu-buru seperti mereka. Kedua tanganku menggenggam erat tali ransel dan hanya tersenyum segaris melihat mereka dari belakang.

"Nathan!"

Seorang pria memakai kemeja biru dan hitam flanel kotak-kotak dengan lengan kemeja digulung, lalu gaya rambut klimis berminyak diatur rapi begitu baik, berparas usia paruh baya, tampak tidak terlihat sama sekali tanpa maksud melebih-lebihkan. Pria itu memanggil nama aku. Suatu hari nanti, di usia dewasa, aku pasti akan seperti pria itu. Wajah kami sama karena menurut materi genetika, aku sebagai anak yang mempunyai kromosom dua dari kedua orang tuaku, kemungkinan besar aku akan mewarisi wajah bergen dominan dari salah orang tuaku—tentu saja pria itulah lebih dominan gennya dalam tubuhku.

Aku masih memandangi pria itu dan suara teriak pria itu masih terdengar, bermaksud memanggil-manggil namaku dengan ekspresi senang tak kutahu karena apa.

Tangan pria itu melambai-lambai ke udara. "Nathan! Nathan ...!"

Aku kali ini meningkatkan sedikit langkah kakiku. Pria itu adalah Ayahku.

Setiap hari Ayah menjemput aku di jam pulang sekolah, pukul 11:05 siang. Tempat Ayah bekerja tidak jauh dari jarak sekolah aku belajar, sekitar 70 meter.

Ayah langsung memelukku ketika aku sampai dihadapan dia. Senyuman dia itu seolah akan dan aku berpikir sampai berapa lama Ayah akan tersenyum. Entahlah.

"Jadi, keseruan apa yang terjadi padamu hari ini, Jagoan?" tanya Ayah. Pertanyaan selalu Ayah tanyakan kepada aku ketika dia menjemputku.

"Tidak ada."

Jika ada yang spesial terjadi hari ini, itu hanya hujan. Di kelas, aku kadang-kadang melihat ke arah jendela, memandang ke langit New York yang berwarna abu-abu dan hujan yang menetes di tanah.

Wajah Ayah seketika cemberut, lalu dia berkata, "Kau sungguh tidak asik."

Aku mendengkus pelan. Ayah akan marah kalau tahu aku mendengkus karenanya. Seorang bocah baru berumur 13 tahun tidak boleh mendengkus pada orang dewasa, karena kasar dan tentu tidak sopan. Aku tak peduli pandangan orang dewasa terhadap hal tersebut.

Aku masuk umur ke 13 di tanggal 23 April yang jatuh hari Jumat ini. Itu artinya masa pemberontakan akan di mulai. Aku membayangkan bagaimana diriku akan memerontak pada kedua keluargaku. Aku harap aku tidak melakukan sikap kurang ajar atau menjadi laki-laki berandalan.

Mendesah pendek, aku tiba-tiba membayangkan diriku berubah laki-laki berandalan dan pembangkang. Seketika tulang punggungku terasa ngilu.

"Baiklah sekarang kita pulang saja." Ayah menyahut santai. Tangan kiri Ayah aku membuka pintu mobil lalu aku ke dalam dan duduk di kursi depan sebelah kursi kemudi.

Selama perjalanan pulang ke rumah, radio di dalam mobil terus berputar menemani kami. Lagu-lagu secara acak berputar. Aku sibuk bermain rubik 3 x 3. Ayah duduk di sebelahku fokus menyetir.

"Apakah kau mau makan, Nath?" Ayah menyahut untuk bertanya padaku di sebelah sedang sibuk dengan rubik.

Aku berhenti sejenak dari menyelesaikan rumus rubik dan menoleh ke arah Ayah, "Kita akan ke restoran?"

Latum Alterum EntityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang