7 | Pulang Bareng

36 12 34
                                    


Jemari yang menggenggam lebih baik daripada ikatan hubungan yang menyesakkan.

--- Rehan ---

Lelaki itu terus mempercepat langkahnya. Matanya celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang.

"Dia hilang ke mana sih?"

Rehan hendak berbalik kembali ke parkiran namun tidak sengaja ia menangkap siluet seorang gadis dari balik kaca jendela.

"Itu dia," gumamnya.

"Hei cegaras!!!"

Fahera melayangkan pandangannya mencari asal sumber suara.

"Di bawah sini!" Teriak suara itu lagi.

Fahera memajukan kepalanya ke arah jendela, dan menemukan Rehan yang berjongkok memunguti beberapa kertas di sana.

Eh itu kan,...

"Lo buat puisi?" Tanya Rehan dan menimbulkan rona merah muda di pipi Fahera.

"Hei balikin!"

Rehan mengacungkan tiga lembar kertas di tangannya. Ia tersenyum senang, tidak sabar menantikan amukan Fahera dari balik kaca jendela.

"Han, jangan dibaca please!!"

Rehan menampilkan deretan gigi putihnya. "Kesini dong Ra, ambil!"

Fahera bangkit dari duduknya lalu merapikan beberapa barang di meja dan memasukkannya ke dalam tas.


"Tunggu disitu, pokoknya lo gak boleh baca okee?!"

Rehan tertawa kecil melihat reaksi panik Fahera. Tidak pernah terpikir olehnya jika anak itu bisa membuat sebuah puisi. Setahu Rehan, gadis itu memang tidak selalu nampak menonjol dibandingkan beberapa teman sebayanya. Gadis itu bahkan mencoba untuk tidak terlihat dan menjadi pusat perhatian. Ia memang suka membaca novel fiksi, tapi Rehan tak pernah melihat gadis itu menulis cerita maupun puisi.

Tanpa sadar ingatannya kembali ke memori beberapa tahun silam.

Seorang gadis dengan rambut sebahu yang dikuncir kuda itu berlarian mengelilingi taman.

Ia terus saja menyandungkan lagu sambil mengayunkan lengan menirukan kupu-kupu yang terbang.

Kupu-kupu yang lucu...

Kemana engkau terbang...

Hilir-mudik mencari...

Bunga-bunga yang kembang...

Berayun-ayun
Pada tangkai yang lemah

Belum sempat gadis itu menyelesaikan lagunya, tidak sengaja kakinya tersandung batu di depannya. Sehingga membuat tubuh kecilnya melayang, dan jatuh dengan lecet kecil di lututnya.

Gadis itu merintih kesakitan lalu menangis. Aku yang duduk tak jauh dari sana terdiam kaku, tak berani mendekatinya.

Rintik hujan perlahan mulai jatuh di atas kepalaku. Gadis yang kupandangi itu mendongakkan kepalanya lalu menangis tersedu. Ia memeluk kedua lututnya yang terasa perih karena terkena tetesan hujan.

Entah kenapa, lebih baik aku melihat senyum yang sejak tadi menghiasi bibir kecilnya itu. Daripada melihatnya menangis pilu seperti ini.

Aku memantapkan langkahku ke arahnya.

A Troublemaker's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang