Keping 03

17 0 0
                                    

🍃

"Kalau punya bakat itu sebaiknya diasah, Na. Bukan disembunyikan. Ini justru kita lagi bener-bener pengen kamu tampil."

Pinter bener mereka merayuku di depan dosen senior. Belum tahu aja kalau aku udah nyiapin jawaban gak buat permintaannya.

Selain karena aku gak mau, aku juga udah nyiapin rencana naik gunung sama teman-teman Nirwana. Kan gak etis tiba-tiba kubatalkan karena ada janji baru.

Ketemu Zen hanya membuatku ingin tahu kenapa harus aku yang mereka ajak ngeMC?

"Ya kenapa harus aku? Ada banyak yang lain. Terutama kalau kalian nyari di temen-temen broadcasting. Mereka lebih jago lagi. Dan yang pasti, gak akan nolak."

Aku masih gak puas dengan rayuan ala-ala dari Zen.

"Ayolah, Arunaa. Kita pengennya kamu, nih."

Tuh kan dia gak jelas banget.

"Iya kenapa, Zenita?"

Oiya, Zen itu cewek ya. Namanya Zenita, anak fakultas hukum.

"Itu permintaan Kaprodi, Mbak. Pak Sasmito."

Apa yang kutakutkan kejadian kan. Dosen senior yang daritadi cuma mendengarkan aja akhirnya angkat bicara.

Tapi kenapa ada nama Pak Sasmito disini? Duh, beliau ini dosen kesayanganku.

"Mohon maaf, Pak. Kenapa sama Pak Sas?"

Aku gak lega denger pernyataan Bapak Dosen tadi.

"Pak Sasmito kemarin memeriksa proposal dari teman-teman BEM. Gak ada koreksi. Cuma satu keinginannya yaitu yang jadi MC adalah Mbak Aruna."

Oke. Aku dapat poinnya. Jadi, Pak Sas yang ingin aku ngeMC di acara Dies Natalies. Well, kalau aku bicara langsung ke Pak Sas pasti mudah dapat jawabannya, kan?

Ada satu yang harus diketahui, Pak Sas bukan sembarang dosen. Beliau memang kaprodiku di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Aku paling gak bisa bohong kalau sama Pak Sas. Maksudku aku juga gak pernah pengen bohong. Percaya atau tidak, Pak Sas selalu bisa menebak isi hati dan pikiran orang yang berbicara pada beliau.

Terutama kalau lagi suntuk-suntuknya atau kalau lagi mode marah sama seseorang atau sesuatu, gak perlu deh bicara empat mata sama Pak Sas. Karena ujungnya, kamu bakal curhat juga.

Memang sampe se-menarik itu kalau bicara Pak Sas.

"Saya ada jadwal sama anak-anak Nirwana, Pak. Kira-kira kalau saya cari pengganti buat ngeMC apa bisa?"

Aku gak akan lari gitu aja. Setidaknya kalau aku gak bisa bantu mereka ngeMC, aku bisa bantu cari penggantiku.

"Naik gunungnya jam berapa, Mbak?"

"Berangkat siang rencananya, Pak."

Sebenarnya dari Nirwana sendiri gak tahu berangkat jam berapa. Anak-anak itu serba mendadak. Kalau udah mood berangkat jam berapapun ayo aja. Padahal kan ga safety banget kalau gitu.

"Ya sudah, minta tolong cari penggantinya, ya? Tapi, nanti sambil dibantu buat ngomong ke Pak Sas juga."

Aku udah bisa nebak sih kalau ujungnya aku yang beresin semua.

"Siap, Pak. Terima kasih. Saya balik dulu. Assalamualaikum."

Selesai berbicara di ruang BEM, gak tahu kenapa kerongkonanku rasanya butuh segalon air. Banyak sekali peristiwa gak terduga hari ini.

Masih jam 12 siang tapi rasanya aku udah 24 jam aja di kampus. Yang lain udah pada pulang termasuk Tata. Tadinya mau ajak dia ke tokbuk deket kampus. Tapi, katanya lagi ada janji makan siang bareng.

Rasa-rasanya, Tata emang lagi deket sama cowok. Awas aja kalau patah hati, dia baru bilang. Tapi pas deket-deketnya gini gak mau cerita.

Sepertinya, pulang memang pilihan terbaik. Tadi, aku juga udah kirim pesan ke Ayah kalau Rabu ini pulang. Eh, hari Rabu kan?

Jadwalnya Mas Esa ke taman belakang kampus! Apa dia udah disana, ya?

Tadi, ketika aku lihat Mas Esa sama Mbak Kamala di perpus aku mengalihkan pandangan dan berusaha fokus buat menyimak persentasi dengan baik.

Jadi, ketika mereka keluar perpus pun aku gak tahu.

"Tadi Mbak Kamala minta temenin Esa ke fotocopyan depan kampus itu lho, Mbak."

Gak tahu apa maksudnya, Pak Latif tiba-tiba ngasih tahu aku gitu pas aku pamit dan bantuin beberes buku di mejanya Pak Latif.

Gak mungkin Pak Latif tahu juga kan diam-diam aku mengobservasi mereka?

"Nyari siapa?"

Eh!

Aku memang berjalan ke taman belakang kampus sambil bicara dalam hati sendiri.

Tempat aku sembunyi adalah di dekat pohon beringin besar. Disana teduh dan strategis banget buat ngamatin Mas Esa yang sering duduk atau rebahan di gazebo. Tapi ini..

"Lagatmu mencurigakan."

Aku udah kayak ketahuan mencuri. Yang ngomong ini Mas Esa! :(

"Eh, enggak Mas. Nunggu temanku, Tata."

Maafin aku bohong.

"Temanmu itu lagi makan siang sama Pram. Tuh, disana!"

Mas Esa nunjuk di satu tempat tongkrongan yang memang bisa terlihat dari areal taman ini.

Meskipun gak terlihat jelas karena tertutup pagar, tapi dari celahnya aku juga bisa lihat disana ternyata ada Tata dan seorang cowok tengah tertawa bebas.

"Nunggu apa lagi? Susulin sana kalau ada perlu penting."

Astaga! Kenapa kesannya Mas Esa jahat banget sih! Ngusir kan ini maksudnya?

Oke aku segera balik badan dan ninggalin dia dengan ranselnya di bahu kirinya itu. Gak peduli kalau tali sepatuku sebelah kanan mulai lepas.

"Hey"

Sekarang dia manggil lagi. Aku gak sempat noleh tapi berhenti melangkah. Huh! Dasss-

"Kamu gak capek ngikutin aku terus?"

Cemara yang Ja(t)uhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang