Prolog

51 0 0
                                    

                     🍃
                                🍃   

Aruna Sekar Larasati

"Sudah tahu ada jam kuliah pagi, begadangnya mbok ya dikurangi, Mbak."

Ayah masih mencoba menasehatiku meski beliau tahu aku sibuk dengan tali sepatu yang gak bisa rapi daritadi.

Dari zaman aku SD, pakai sepatu bertali memang gak pernah jodoh. Selalu lepas dan ujung-ujungnya tersandung. Tapi aku suka sekali model sepatu tali begini.

Gak peduli berapa kali aku benarin tali sepatuku, aku tetap bertahan pakai sepatu model ini.

"Pulang jam berapa nanti, Mbak?"

Tuh kan. Durhaka sekali aku gak menanggapi Ayah.

"Arun ada janji sama anak-anak BEM, Yah. Belum tahu pulang jam berapa. Tapi pasti Arun kabari nanti."

Untuk jadwal yang satu itu aku gak lupa. Karena hampir tiap malam, salah satu dari mereka seolah menerorku. Mengingatkan kalau aku harus bertemu mereka siang nanti.

"Tumben punya urusan sama BEM, mbak?"

Oke. Tali sepatu sebelah kiri selesai.

"Mereka minta Arun jadi MC di Dies Natalies kampus, Yah. Belum Arun jawab. Jadwalnya bentrok sama jadwal temen-temen mau naik."

Aku menengok Ayah di meja makan yang sedang membuka halaman koran selanjutnya. Sudah beberapa kali aku mengajari Ayah untuk baca-baca berita di web-web terupdate.

Tapi, Ayah gak betah. Tulisan di handphone kecil-kecil, katanya. Sampai saat ini Ayah masih berlangganan koran.

Kata Ayah, kalau bukan Ayah yang berlangganan koran, lama-lama media cetak itu bisa tergerus ketinggalan zaman.

Selain itu, Ayah memang lebih nyaman baca berita di koran. Lebih lega rasanya.

"Jangan naik dulu kenapa, Mbak. Masih sering hujan gini meskipun masuk musim kemarau."

Aku tahu Ayah selalu khawatir kalau aku minta ijin mau naik. Maksudku, naik gunung.

"Iya nanti pasti lihat sikonnya dulu, Yah."

Oke, tali di kaki kiriku juga sudah terpasang. Kurasa, tali ini rapat.

"Memangnya Esa ikut naik, Mbak?"

Esa.

E s a

Dengar satu nama itu berhasil bikin tali sepatuku lepas lagi ketika aku berdiri. Gini nih kalau Ayah tahu perihal hati.

Ayah akan membahas terus sampai aku mengajak si subjek main ke rumah.

Padahal, nama itu hanya nama mahasiswa yang aku bahkan gak kenal. Aku cuma tahu dia kakak tingkatku.

Aku tahu dia suka pakai ransel di bahu sebelah kiri.

Aku tahu dia suka sekali ke taman belakang kampus tiap Rabu sore. Tiap Rabu sore.

Aku tahu nama lengkapnya.

Namanya,
Esa Langit Mahameru.

Selebihnya,
aku gak tahu siapa dia.

Cemara yang Ja(t)uhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang