Prologue - Strangers

11.2K 705 51
                                    

🍃



Suatu hari yang cerah di musim semi.

Burung-burung seakan tak bosan-bosannya melantunkan nyanyian merdu, bunga-bunga berlomba memamerkan mekarnya, semilir angin segar berhembus lembut menyapu pepohonan, dan matahari melengkapi dengan sinarnya yang menghangatkan.

Tidak demikian dengan salah satu ruangan di Rumah Sakit Internasional Seoul. Ruangan yang lantai, dinding dan langit-langitnya didominasi dengan warna putih itu seperti berada di tengah musim salju, terlalu dingin. Hanya satu buket bunga lavender yang tertata indah di dalam vas kaca di atas nakas tepat di samping ranjang yang membawa warna berbeda dan sedikit kehangatan pada ruangan itu.

Sepasang insan menjadi penghuni; seorang wanita yang tengah terlelap damai di atas ranjang, dan seorang pria yang dengan setia menunggu wanita itu untuk bangun-sudah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Kesabaran sang pria harusnya telah habis termakan waktu, namun, rasa rindu lebih besar, mengalahkan lelahnya putus asa.

Tetapi, kali ini permintaan sang pria didengar. Harapan yang menjadi lirihan doanya setiap hari akhirnya dikabulkan.

Sang wanita terbangun dari tidur panjangnya, perlahan membuka matanya, sedikit terkejut dengan silau cahaya matahari yang menembus jendela. Ia menyadari bahwa ia tengah berada dalam ruangan yang tidak biasa, bahwa ia tengah terbaring pada ranjang berseprei putih dengan pagar besi di sampingnya. Lantas, ia mengernyitkan dahi saat merasakan betapa tidak nyamannya bantal yang menyanggah leher dan kepalanya.

Wanita itu melayangkan pandang pada tubuhnya sendiri, memindai dengan fokus. Ia mengenakan gaun putih di balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Beberapa selang kecil terhubung dengan tangannya, pun ia sangat yakin bahwa ada sesuatu yang membungkus kepalanya.

Perlahan sang wanita menggerakkan tangannya, ingin kembali mengambil alih kontrol atas tubuhnya. Namun yang ia rasakan hanyalah ketidakmampuan untuk memfokuskan pandang, lalu pening tiba-tiba menyerang. Dan selanjutnya, ia kesusahan untuk sekedar meraup satu tarikan napas. Panik menyerang sistemnya, ia meringis pelan.

"Hey, baby, pelan-pelan saja."

Suara bariton dengan nada begitu lembut menyapa telinganya. Dan secara ajaib, panik yang ia rasakan lenyap-suara itu menenangkannya.

Matanya menangkap sang pemilik suara, membuatnya seketika terperangkap dengan pemandangan di hadapannya. Seorang pria dengan wajah tampan aristrokatnya; dengan sepasang obsidian tajam dan berbinar, alis yang tebal dan tertata rapi, hidung mancung, bibir yang indah namun maskulin, struktur rahang yang tajam dan kuat, dan rambutnya hitam pekat, sedikit panjang hampir menutupi matanya. Tubuhnya tinggi dan proporsional, terbalut kaus hitam lengan pendek yang gagal menutupi beberapa tato pada lengannya.

Bagi sang wanita, pria itu terlihat familier, seperti keduanya sudah saling mengenal dengan baik untuk jangka waktu yang cukup lama. Namun saat sang wanita mencoba untuk menyapa pria tersebut, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia tak bisa mengingat nama pria itu.

Namun jika sang pria hanya orang asing baginya, bagaimana ia berada di sini dengan kekhawatiran yang sangat jelas terlukis di wajah tampannya?

Untuk sesaat sang wanita termenung. Bukan. Otaknya sedang berpikir keras. Sedang mencari jawaban akan segala pertanyaan yang terus saja muncul tanpa henti.

Siapa pria itu?

Apa yang pria itu lakukan di sini?

Mengapa pria itu terlihat begitu terkejut dan ingin menangis?

Mengapa pria itu seperti ingin mendekatinya?

Sang wanita mengernyit ketika usaha kerasanya tak membuahkan hasil. Justru semakin pelik kala ia tak bisa menjawab pertanyaan tentang dirinya sendiri.

✔️ The Painful Truth [PDF Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang