[11] - Oppa

2.6K 408 119
                                    



Selain egois, aku juga seorang pengecut.

Malam itu, setelah aku mendengar percakapan Taehyung dan Jungkook, aku berpura-pura bodoh, seakan tak mendengar apa pun. Bahkan saat Taehyung masuk ke kamar dan langsung memelukku erat sambil menangis, aku menutup mataku rapat, mencoba menenangkan jantungku yang tak behenti bertalu laju, membiarkan Taehyung menganggapku masih terlelap.

Dalam tangisannya, Taehyung berulang kali mengatakan bahwa ia sangat mencintaiku, tak berhenti mengakui bahwa ia sangat takut kehilanganku. Taehyung memohon padaku untuk tak meninggalkannya, untuk terus berada di sampingnya.

Itu bukanlah pertama kalinya aku melihat Taehyung menangis, akhir-akhir ini ia memang sering meneteskan air matanya untukku, namun malam itu, aku sadar bahwa aku sudah terlalu sering menyakitinya. Layaknya hal biasa, aku terus melukainya dengan segala tingkahku yang kulakukan secara sadar atau tak sadar. Mauku tak ingin melukai, justru ada keinginan besar untuk selalu memberi Taehyung apa yang pantas ia dapatkan karena memiliki hati dan kebaikan sebesar itu. Sayangnya, aku harus terus menyakitinya.

Alasannya? Jungkook.

Sosok yang kusayangi, sahabatku, pria yang pundaknya selalu menjadi tempatku bersandar, yang jarinya selalu menghapus air mataku, pria yang presensinya membuat eksistensiku di bumi menjadi lebih berarti.

Kenyataan yang kudengar bahwa aku pernah mencintainya sangat mengejutkan. Namun salahkah aku jika mengatakan bahwa aku sudah pernah memikirkan hal itu sebelumnya? Bahwa di masa laluku, aku pernah memiliki perasaan besar untuknya terlebih ketika aku menyadari besarnya kebutuhanku akan kehadirannya. Salahkah aku jika aku tak merasa terbebani dengan hal itu?

Aku tak ingin kehilangan Jungkook lagi. Karena itu, meski begitu banyak hal yang ingin aku ketahui tentang hubunganku dengannya, aku mengurungkan niatku untuk bertanya dan mencari tahu. Biarlah itu menjadi rahasiaku, biarkan itu menjadi objek yang kusembunyikan di belakang kepalaku yang hanya akan kupikirkan setiap kali Jungkook datang mengguncang tenangku.

Sudah lebih dari satu bulan setelah malam itu-tepatnya 37 hari-aku membodohi orang lain, dan juga diriku sendiri. Aku bahkan sudah berhenti memikirkan hal-hal mengenai Kim Seokjin dan tunangannya Kim Jisoo, telah memutuskan untuk benar-benar berhenti menggali kuburan masa laluku, sudah bertekad untuk melupakannya dan menerima kehidupanku yang sekarang.

Look at the bright side.

Taehyung dan Jungkook tetap berada di sampingku, seakan sudah saling mengerti dan berkompromi, sepakat berbagi waktu keduanya bergantian menemaniku, mengisi waktuku, memberikanku jaminan bahwa mereka tak akan lagi membiarkanku sendiri.

Jungkook selalu berkunjung setiap pagi saat Taehyung sudah berangkat ke kantor, beralasan datang untuk sarapan namun pada akhirnya aku yang akan selalu dimanjakan dengan sarapan favoritku yang hanya Jungkook yang bisa membuatkan. Kami biasanya menghabiskan waktu bermain di pantai setelah itu, lalu ia akan menemaniku ke kafe untuk kopi rutinku, selanjutnya makan siang bersama, lantas melakukan hal-hal menarik lainnya seperti mengunjungi toko bunga milik Ahjumma atau sesederhana menghabiskan waktu duduk santai di taman kota. Dan ketika sore menjelang dan tenagaku hampir habis, ia akan mengantarkanku ke kantor Taehyung.

Taehyung tak mau kalah, tentu saja selalu melakukan perannya sebagai seorang suami dengan baik. Ia tidak pernah gagal membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat dan kupu-kupu beterbangan di perutku dengan caranya memperlakukanku. Setiap saat Jungkook mengantarku ke ruangannya, Taehyung dengan sigapnya langsung lari dan menarikku ke dalam dekapannya, memelukku erat seakan ia akan kehilanganku jika ia melonggarkan pelukannya. Ia akan langsung membawaku pulang setelahnya, kadang mampir ke restoran jika aku menolak makan malam di rumah. Dan akhir pekan selalu kuhabiskan dengannya, biasanya untuk mengenyangkan kebutuhan seksualku.

✔️ The Painful Truth [PDF Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang