Tharadie 3: sejarah berkata

44 16 2
                                    

Tharadie|1324word

Esoknya, ketika pulang sekolah aku langsung bergegas menuju rumah Abbas. Rumah itu sepi, sepertinya Bu Im masih bekerja saat ini. Sebelum meminta Abbas bercerita, ku ganti seragam dengan pakaian santai. Aku tidak suka menggunakan seragam ketika dirumah. Terlalu menyesakkan.

Ku ambil buku catatan kecil guna mencatat poin-poin penting. Segera kutemui Abbas di perpustakaan rumahnya.

“Bas, kamu masih berhutang cerita kepadaku! Ceritakan isi buku itu sekarang, aku akan mencatat poin-poinnya.”ucapku sembari duduk manis disana.

“Iyaa” lalu abbas mulai bercerita.

'Mereka menyebutnya Tharadie. Sebuah pulau yang mendominasi suatu planet. Mereka terkenal akan kekuatan militernya. Terlebih, planet ini dikatakan mirip bumi.

Karena suatu keadaan, entah perang atau jatuhnya meteor, planet yang dulunya indah ini menjadi planet tak layak huni. Semua tumbuhan disini mati. Air mengering, hanya sedikit air bersih yang tersisa. Pun dengan hewan, tak lagi ada hewan yang hidup disana.

Menyadari bahwa cepat atau lambat mereka akan mati, beberapa orang memutuskan pergi mencari tempat hunian baru. Mereka berkeliling menuju planet yang jauh, dimana kehidupan bisa terjamin disana. Namun, setelah berpuluh-puluh tahun beberapa orang itu tak pernah kembali.

Seratus lalu ada kabar mengejutkan. Dikatakan bahwa ada seorang pemuda yang kembali dan menginformasikan tentang hunian baru. Sebuah tempat layaknya surga. Sebuah rumah nyaman. Air dimana-mana, daratan, bukit, tumbuhan pun tumbuh subur. Hewan-hewan sehat dan gemuk. Yang paling penting, ada sebuah tempat dengan bahasa sama seperti bahasa mereka. Setelah mengetakan hal itu, ia di cap gila oleh orang-orang. Mereka berpikir tidak ada tempat sebagus itu, selain Tharadie sebelumnya. Namun, sedikit orang yang mempercayainya.

Tak disadari sang pria, banyak sekali perubahan pada kampung halamannya. Sebuah kota yang tersisa berdiri kokoh di Tharadie. Peradaban disini mulai maju, namun masih kental dengan budaya lama. Tidak ada senjata, mereka mengandalkan fisik. Tidak ada sayur ataupun daging, mereka mengandalkan pil pengenyang. Sementara baju, baju mereka terbuat dari kain sintesis dengan atom padat sehingga tidak mudah rusak, cukup untuk menghemat pengeluaran.

Beberapa orang yang percaya akan tempat hunian indah itu merencanakan perjalanan menuju tempat tersebut. Mereka mengirimkan dua puluh orang untuk berpartisipasi. Dalam seratus tahun, mereka akan kembali dan memberi informasi tentang tempat itu.

Setelah beberapa dekade berlalu belum ada kabar. Dua puluh orang tadi telah menjalani kehidupan bahagia disana. Sementara di Tharadie, mereka lebih berkembang. Sehingga melupakan ekspedisi seratus tahun lalu. Mereka lebih berfokus pada kemajuan Tharadie sehingga tempat ini masih bisa dihun-'

“Abbas, kamu ini berbicara kok ngawur! Mana ada tempat kayak gitu?” sebelum kalimat Abbas selesai, Bu Im berbicara. Entah sejak kapan Bu Im mendengar cerita Abbas. Yang jelas, aku tidak tahu kapan Bu Im membuka pintu.

“Hehe, ini si Thollie yang minta diceritain buk, kayak anak kecil dia tuh.” Abbas menyengir tak jelas.

”Yasudah, ini sudah magrib lo nak Thollie, mendingan pulang terus istirahat.”

“Ohh, sudah mau magrib ternyata. Saya pamit pulang dulu ya buk.” ucapku sembari mencium punggung tangan Bu Im. Setelah ku ambil buku tua yang kemarin, aku pun bergegas pulang.

Ketika sampai dirumah, aku memikirkan cerita Abbas tadi. Ketika Bu Im berbicara, sejumput kepanikan terlintas di matanya. Mata tidak bisa berbohong. Namun, aku hanya melihat sekilas. Tidak tahu itu benar atau hanya imajinasi sesaat.

Tharadie: The Unknown LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang