Tharadie 4: Akankah aku?

48 14 4
                                    

Tharadie|1119word

Bu Im memulai ceritanya

'Ini adalah cerita lama, bahkan ada yang menganggap cerita ini mitos. Namun, sebenarnya ini nyata. Tempat itu nyata adanya. Dulu, ada seorang yang mengaku sebagai Jiev. Salah satu suku terbesar di pulau tersebut. Ia datang ke sini guna mengamati hal-hal yang terjadi di bumi kita ini. Semua orang menganggapnya gila. Seolah apa yang dikatakannya harus bualan belaka. Namun, ibu percaya.

Yang dikatakan pria itu, yang ditulis di bukumu itu, ibu percaya itu benar. Karena cerita itu sudah turun-temurun di keluarga kita. Kalau kalian ingin bertanya apakah ibu adalah Jiev? Jawabannya tidak. Keluarga yang ibu maksud adalah dari pihak bapakmu. Ya, bapakmu adalah seorang keturunan Jiev. Selama ini kami berusaha menyembunyikan itu. Mungkin ini sudah seratus tahun dari masa dimana mereka singgah di bumi. Namun, mereka tidak kembali. Atau mungkin keturunannya yang akan kembali?” suara ibu bergetar. Jika keturunan bangsa Jiev diharuskan kembali, maka Abbas tidak bisa bersama Bu Im lagi. Dan itu artinya Thollie tidak bisa bertemu Abbas lagi.

Mereka berkutat pada pemikiran masing-masing. Tatapan kosong berubah menjadi sendu. Pikiran perpisahan dan kehilangan menggelayuti ketiganya. Thollie membuka suara, dan menghilangkan rasa canggung disana.

“Bu Im tenang saja, Abbas tidak akan pergi. Lagi pula tidak ada tanda-tanda dari Tharadie. Mungkin saja mereka sudah lupa, lagi pula hanya sejumput tokoh yang melakukan perjalanan ini. Benarkan Bas?” ucapnya menenangkan

“It- itu benar.” ucap Abbas memaksakan senyum. Thollie melihat kejanggalan dalam senyum Abbas. Ia menuntut kejujuran temannya itu. Dimana Abbas yang biasanya jujur dan ceplas-ceplos?

“Bas, kenapa? Sepertinya kamu ragu.” Abbas hanya diam.

“Kamu tidak perlu takut, toh mereka tidak disini. Apa mungkin mereka sudah disini dan berniat menjemput kalian?” mata Thollie memincing. Abbas tidak berani menatapnya. Kentara sekali sedang menyembunyikan sesuatu.

“Maaf.” lirihnya

“Jadi benar ya. Kapan? Kapan kamu mengetahui itu? Hahaha ternyata aku tidak cukup di percaya olehmu.” Thollie tertawa garing. Ia merasa tidak seharusnya Abbas menyembunyikan hal ini. Ia sebagai teman siap mendukung apapun yang terjadi. Namun, Abbas berencana menyembunyikan kepergiannya. Teman macam apa yang tidak sakit hati?

Bu Im yang sejak tadi mendengarkan, tergerak memeluk erat Abbas. Sangat erat, tidak ingin berpisah. Abbas mematung. Ia membuka suaranya lagi. “Kemarin, aku mendapat sinyal pesan dari seseorang. Pesan itu langsung tersampaikan ke otak. Tidak ada media lain. Ku pikir itu hanya imajinasi ku belaka. Namun setelah dipikir-pikir lagi, itu adalah pesan untuk kami semua, karena bukan hanya aku yang mendapatkan pesan itu. Mungkin ada hubungannya dengan penjemputan yang kau maksud tadi.”

Abbas berhenti sesaat. Merasa semua orang diam, tidak ada pertanyaan. Ia melanjutkan kalimatnya.“Pesan itu berisi 'untuk lima ratus orang terpilih, kami menunggu kalian di Tharadie. Kembali ke kampung halaman atau mati.' sebenarnya aku tidak terlalu percaya. Namun ada seorang kenalanku, dia mengira ini hanya omong kosong. Ia mengejek-ejek pesan ini kemudian mengatakan dengan lantang bahwa ia tidak akan pergi. Sehari setelahnya, ia dikabarkan bunuh diri.”

Raut wajah Abbas suram. Enggan pergi namun tak bisa tinggal di sini. Thollie menepuk bahu Abbas guna menenangkan. “Abbas tidak perlu khawatir. Aku Thollie, tidak membiarkan Abbas pergi sendiri! Aku akan ikut. Sudah bulat tekad ku, kau tidak bisa merubahnya!”

“Tapi bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana jika kau mati? Bagaimana kau akan pergi kesana? Bagaiman-”

“Abbas, tenang dulu. Aku akan menggantikan kursi orang yang kamu bilang bunuh diri tadi. Sedangkan untuk pertanyaan mu yang lain, kita tidak tahu nanti disana. Percayalah, aku pasti bertahan.” ucap thollie bersemangat.

“Nak Thollie..” Bu Im tersentuh. Ia memberi pelukan pada Thollie. Anak itu terlihat dewasa. Thollie hanya tersenyum. Ia sangat merindukan pelukan hangat sang ibu. Ketika Bu Im memeluknya, ia tak bisa berkata apa-apa. Ia menyukai itu.

“Oh ya Bas, kapan kita pergi? Dimana kamu dijemput? Atau mungkin kamu belum tahu?” ucap Thollie ketika pelukan

“Lusa, di pesawat jatuh itu. Pukul delapan belas tepat. Jika terlambat, konsekuensinya adalah mati.”

“Pantas saja! Pesawat itu sangat misterius. Tapi mengingat dia dari Tharadie, gelar itu cocok untuk keduanya. Hehe. Aku tidak akan terlambat. Aku masih sayang nyawa.”

Sekarang, jawaban atas kemunculan pesawat tadi telah tertebak. Anggapan orang tentang pesawat alien, pesawat hantu, ataupun yang lain adalah salah. Satu masalah telah beres, kini kepala tidak sepenuh tadi.

“Oh ya Bas, udah mau magrib, aku pulang dulu yah. Pamit dulu Bu Im.”

Setelah pamit, Thollie langsung melenggang pergi. Ia berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. Ramai. Kata itu tak luput dari pandangannya. Banyak wisatawan datang, dan kebanyakan adalah anak-anak. Mungkin mereka sebangsa dengan Abbas. Pasti telah mendapat pesan sehingga buru-buru datang kemari.

Merasa cukup lama berjalan-jalan, Thollie segera pulang. Ia membersihkan rumah beserta tubuh. Kemudian mengistirahatkan badan dan terlelap.

Baru sebentar tertidur, ia dihantui mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia, Abbas, dan yang lain telah memasuki pulau Tharadie. Pulau itu indah. Bak surga dunia. Namun, orang-orang disana tak ada yang ramah. Mereka memperlakukannya seperti budak. Lebih buruk dari hewan. Membuat kesalahan sedikit sama dengan mati.

Beberapa orang telah mati, ia tidak bisa membayangkan kehidupannya disana. Ia juga belum bertemu Abbas. Ia stress. Di tariknya rambut dengan kasar. Ketika sadar, ia telah membuat kesalahan fatal. Seisi kamar hancur di berantakinya. Orang disana tahu dan tak segan-segan memukulnya. Esoknya, ia siap dieksekusi. Sebagai budak ia tidak bisa melawan bukan? Ia hanya pasrah menerima nasip.

Ia berteriak keras. Tidak, ia belum mau mati. Ia akan berjuang ketika disana. Ia tidak akan mati dengan mudah. Pasti. Begitulah tekadnya.

Ia terduduk di samping ranjang. Mengambil bingkai di atas nakas. Sudah lama sekali. Ia merindukan keluarganya. Sudah beberapa tahun ini orang tuanya tidak pulang. Walaupun mengirim saku berlebih, ia lebih suka ibunya disini, membuatkan bekal untuknya. Tidak diberi saku pun tak apa, asalkan orang tuanya disisinya.

Ia memejamkan mata. Tak kuasa menahan tangis, ia mulai meneteskan air mata. Seandainya ia bisa memilih. Ia pasti memilih mendapatkan keluarga sederhana namun penuh kasih. Ia pegang erat bingkai tersebut. Bingkai dengan foto keluarga kecil yang bahagia. Penuh kasih.

“Ayah. Ibuk. Thollie akan pergi. Thollie akan ke Tharadie, bersama Abbas. Thollie tak bisa menjanjikan bahwa Thollie bisa pulang. Bisa bertemu kalian lagi. Maafkan Thollie yah, Thollie kangen kalian.”

Menangis dalam diam. Di tengah malam yang panjang. Dengan pemikiran berkecamuk ria dalam benak.

'Bisakah ia kembali?' pertanyaan itu terus menghantuinya. Ia tidak yakin apakah ia bisa kembali. Tempat itu asing. Bukan hanya bed pulau, beda planet. Mereka akan pergi dari bumi.

Ia mengembalikan bingkai foto pada tempatnya, mematikan lampu. Kemudian memposisikan diri, ia meraih guling dan memejamkan mata.

“Ayah, ibu. Seandainya aku tidak bisa kembali, aku ingin mengucap perpisahan pada kalian. Namun, aku akan berjuang untuk kembali. Bersama Abbas. Apakah harapanku terlalu besar?” lirihnya.

Ia mengusir segala hal uang berkecamuk dalam otak dan tidur. Ia percaya, harapan membuatnya semakin kuat. Ia tidak akan membiarkan orang yang ia sayangi menderita. Jika sesuatu terjadi, ia akan membalaskan penderitaan itu. Sepuluh kali lebih kejam.[\]

---

[a.n Haii teman-teman yang Budiman. Konfliknya udah mulai kelihatan nihh, nanti banyak kejutan lagi di Tharadie lohh. Tharadie itu misterius juga penuh kejutan. Authormya aja pengen kesana. Sampai ketemu di next part yah!]

Tharadie: The Unknown LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang