"apa motifnya pak? Kenapa dia membunuh keluargaku?" tidak terasa air mata kembali keluar dari kedua mataku.
"kami masih menyelidiki lebih lanjut"
Tidak. Apa maksud ini semua? Kenapa dia? Bunuh diri?
Ya tuhan apa yang terjadi?
****
"kami juga ingin mengajukan pertanyaan kepada dek hasya, kenapa kamu tidak terbunuh saat itu?"
"karena si pembunuh tidak tahu keberadaan hasya, hasya ada di gudang bawah tanah di halamannya" kata nenek menjawab pertanyaanku
"seharusnya aku juga mati nek" kataku pada nenek
"pak walaupun tersangkanya sudah mati, hasya menjadi satu-satunya saksi kematian keluarganya, bisakah hasya meminta perlindungan kepada kepolisian, tolong lindungi cucu saya"
"baik bu"
"lindungi cucu saya pak, saya mohon" kata nenek sambil memelukku.
Aku bahkan tidak terlalu perduli apa yang akan terjadi padaku. Mungkin aku akan lebih bahagia jika ikut dengan mereka.
*****
Nenek memutuskan untuk tidur di kamarku. Dia terus mengelus rambutku.
Hingga terasa di keningku air mata nenek yang jatuh. Aku tidak mau dia khawatir padaku. Jadi aku pura-pura tidur disampingnya. Aku tidak mau mengatakan apapun lagi padanya hari ini. Sudah cukup.
"maafkan nenek nak, ini semua salahku" kata nenek lirih
Kenapa?kenapa ini semua salah nenek?
Ini tak ada hubungannya dengan nenek.
Ada yang aneh.
Saat terjadi pembunuhan ayah, ibu dan ka hasyi, nenek juga menelponku menanyakan bagaimana keadaanku.
Dia juga minta polisi untuk melakukan penjagaan terhadapku.
Apa sebenarnya yang nenek tau?
****
Pagi ini, pikiran terus menghantuiku
Terlalu bayak hal yang tidak ku ketahui
Terlalu banyak yang terjadi secara mendadak
Ingin rasanya melakukan sesuatu untuk membuka semua yang masih tertutup di depan mataku
Siapa yang bisa menjelaskan. Hanya ada satu orang yang kurasa mampu menjelaskan.
"nek" kataku untuk memecah keheningan
"aku boleh libur sekolah satu minggu ini"
"baiklah, lagipula sementara waktu kau tidak boleh keluar rumah seorang diri"
"sampai polisi menangkap dalang pembunuhan ayah, ibu, dan kakamu"
"nek kau taukan bahwa aku sangat menderita"
"tentu saja nenek tau, sayang"
"kalau begitu maukah nenek bercerita tentang sesuatu yang nenek tau"
"apa maksudmu? Sesuatu yang ku tau?"
"tidak ... maksudku mungkin nenek tau sesuatu"
Nenek hanya terdiam.
Tunggu biar ku tebak.
Nenek sedang berdebat dengan dirinya sendiri tentang sesuatu yang harus dan tidak harus dia ungkapkan padaku.
Dan ini memberiku penjelasan bahwa memang ada sesuatu yang nenek tau.
Aku harus memaksanya mengatakan sesuatu.
"tidak sayang, kita akan menunggu polisi memberikan kabar pada kita"
Baiklah... nenek masih tidak mau bercerita
Harus ada sesuatu yang membuatnya bercerita.
"nek, kurasan aku harus masuk sekolah besok" kataku sambil bergegas pergi menuju kamarku
Aku sangat kesal kepadanya.
Kurasa nenek belum paham betul betapa aku hampir gila dan betapa duniaku berubah menjadi gelap karena kejadian ini. Nenek bahkan tak memberikan sedikit cahaya yang dapat membantuku kembali berjalan.
*****
Aku berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Ya. Sengaja. Agar tidak bertemu nenek.
Harusnya nenek paham dengan tingkah laku anak 17 tahun sepertiku. Egoku dan rasa sakitku tidak bisa tertahan lagi. Maafkan aku nek, aku melakukan ini untuk memaksa nenek bercerita hal yang mungkin sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Sebenarnya bukan hanya tentang "pemaksaan" kepada nenek untuk bercerita. Tapi juga mungkin sudah waktunya aku harus menghibur diriku sedikit. Sejak kejadian pembunuhan itu, aku tak pernah mau ditemui siapapun. Hanya nenek yang bisa menemuiku, bahkan sahabat terbaikku pun tidak.
Udara pagi ini memang benar-benar menyegarkan. Senang rasanya bisa teralihkan sedikit, kupikir di sekolah aku bisa merasa keluargaku sedang menungguku di rumah dengan penuh canda tawa. Anggap saja seperti itu. Lagipula aku sudah hampir gila pada semua hal-hal yang tidak bisa kuketahui.
Tidak terasa aku hampir sampai di sekolah. Sekolahku ini satu-satunya sekolah terbaik di daerahku. Perlu perjuangan yang keras untuk bisa lolos masuk ke sekolah ini. Masa SMA ku dua tahun yang lalu sangat berkesan hingga aku lupa apa itu kesedihan. Hingga hari ini.
Aku bergegas memarkirkan motorku dan berjalan ke arah ruang kelas. Dari jauh sudah ku lihat semua teman sekelasku melihat ke arahku iba. Tatapan sedih mereka itu sangat membuatku terganggu dan membuatku yakin bahwa kejadian kemarin itu bukan mimpi. Aku telah kehilangan duniaku.
Tolong jangan katakan padaku tentang itu. Jangan melihatku seperti itu. Sudah cukup rasanya aku menderita, sekarang waktunya kalian menghiburku.
Aku berjalan ke arah mereka yang berdiri di depan kelasku.
Ketika mereka siap mengatakan sesuatu padaku. Aku memotongnya.
"kawan-kawan tolong jangan katakan apapun padaku, aku ingin tenang, setidaknya hari ini"
Kurasa mereka bisa mengerti keadaanku sekarang, mereka hanya diam dan duduk di kursi mereka masing-masing, begitupun diriku.
Pelajaran pertama dimulai. Bahasa Indonesia, Ibu Rima.
Bu rima dari kejauhan terus memperhatikanku. Terlihat dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Benar saja bu rima menghela nafas dan mulai membuka mulutnya.
Aku siap untuk menghentikannya.
"Hasya, ibu turut berduka cita, ibu tau ra ....."
"ibu aku ingin bertanya" tiba-tiba seseorang mengangkat tangannya dan memotong perkataan bu rima
"tari? Batari, ibu sedang berbicara"
"tapi pertanyaanku lebih penting bu, ibu tau kan ulanganku tentang puisi dan karyaku bahkan jelek sekali, aku ingin ibu menjelaskannya lagi"
ibu rima seolah mengerti maksud tari bahwa aku tak mau membahas hal itu bahkan untuk 1 kalimat
"baiklah akan ibu jelaskan lagi tari, kamu ini"
"terima kasih bu"
"ya jadi unsur puisi terdiri dari ....." kata bu rima mulai memberikan penjelasan.
Aku kira harus aku sendiri yang menghentikan seseorang membahas hal itu. Akan tetapi dia membantuku. Sejak dulu hidupnya selalu didedikasikan untuk membantuku.
Dia sahabat terbaikku, dia Batari Benka Arudaya, sang dewi penyelamatku.
Terima kasih karena telah hadir dalam hidupku.