1 Bulan kemudian
1 bulan ini, aku memikirkan banyak hal, memikirkan rasa penasaranku atas apa yang terjadi dengan keluargaku dan satu hal baru masuk dalam pikiranku, yaitu yasa.
Setelah aku menolak cintanya saat dia akan pergi ke depok, sekarang aku yang akan minta dia mau menjadi tunanganku.
Bahkan aku tak bisa membayangkan, wanita macam apa aku ini.
Bagaimana jika yasa sudah punya kekasih.
Sudah 1 tahun sejak dia pergi dari jakarta, banyak kemungkinan bisa terjadi. Lalu aku harus apa jika yasa tidak bisa melakukan itu untukku. Lagipula yang aku tidak habis pikir adalah kenapa harus nama yasa yang kusebut malam itu saat berbicara dengan nenek. Kenapa aku tidak menodongkan ke nenek untuk mencarikan laki-laki yang mau bertunangan denganku? Kenapa harus yasa? Setengah hatiku terus menjawab, karena mungkin jika orang itu yasa, aku akan baik-baik saja.
Malam ini aku harus menelponnya dan mengajaknya bertemu, aku sudah berkonsultasi dengan tari, dan begitulah tari, selalu mendukungku, dia bahkan tak mengerti perasaan kakanya, atau mungkin karena dia sangat mengerti.
Tari selalu mendukungku dengan yasa, aku saja yang selalu menolaknya. Aku memang jahat kan?
Aku berjalan ke belakang halaman rumah, duduk di ayunan yang menjadi spot kesukaanku di rumah.
Aku melihat layar di handphone ku dan mengetik nama yasa.
Baiklah, harus ku lakukan.
Terdengar bunyi sambungan telpon, tut...tut..tut
Tidak perlu menunggu lama, telpon itu terangkat, terdengar suara laki-laki dari telpon
"halo"
"hai yas"
Hening diantara kami
Aku tak tau harus mulai darimana.
Dan aku tau dia juga tak tau harus mulai berbicara darimana.
"kamu sehat sya?"
Itu kalimat pertama yang ditanyakan yasa padaku
"hemm iya, kabarmu bagaimana yas?"
"aku baik kok"
Hening ...
"sya .... ada apa?"
Aku tak tau harus bilang darimana, harus menjelaskan apa?
Aku memberanikan diri langsung pada inti maksudku menelponnya.
"aku ingin bertunangan" kataku lirih
Hening
Aku tau yasa tidak baik-baik saja mendengar itu.
"oh baguslah, dengan siapa?" tanyanya lirih
"denganmu ...."
****
Hari pernikahan
Persiapan pertunangan begitu melelahkan, hampir saja aku menyerah dengan segalanya, dan aku bingung, apakah yang kulakukan ini benar.
Di ruangan yang serba putih itu, aku melihat diriku dicermin, cantik. Bunga disanggulku benar-benar cantik. Aku menatap mataku dalam-dalam dan memikirkan banyak hal.
Malam saat aku menelpon yasa, aku kaget kenapa dia langsung setuju dengan ajakanku bertunangan. Aku selalu berpikir hatinya sudah sangat terluka karenaku, tapi dia bisa bertahan sangat baik.
Dia bilang, "tenang saja sya, kau hanya perlu bertunangan denganku kan? Bukan mencintaiku, jadi kau tak perlu khawatir"
Dia merelakan masa depannya untukku.