1

651 68 15
                                    

Suara musik dangdut masih bergema di aula salah satu hotel berbintang lima di pusat kota. Bagas—salah satu temanku—tengah bernyanyi di depan sana dengan suara yang sudah cukup bagus untuk dia yang dulunya mendapat nilai standar saat ujian praktek menyanyi.

"Tinggal di Australia selama tujuh tahun bukan berarti selera musik gue berubah. Dangdut tetap nomor satu," tutur Bagas selepas turun dari panggung ketika Fikri—temanku yang satu lagi—keheranan melihatnya.

"Ka, lo ... nggak mau ke sana? Ada Diva, tuh," ucap Fikri sambil menunjuk kerumunan yang berada tepat di sebrang meja kami.

"Tumben banget dia datang, biasanya dia kan jarang datang ke acara beginian."

"Gue juga heran, Gas. Mungkin karna sekarang yang nikahan itu sahabatnya, so dia pasti datang," balas Fikri.

Aku menyetujui ucapan Fikri dalam hati.

Diva. Dari sekian banyak acara yang sudah digelar oleh teman semasa SMA, baru kali ini dia hadir. Di pernikahan salah satu teman sekelas kami yang sekaligus merambat sebagai sahabatnya—mempelai wanita—sedangkan sang mempelai pria merupakan salah satu sahabatku.

"Samperin ajalah, Ka," ucap Fikri menginterupsi pikiranku.

"Nanti ajadeh, lagi sibuk temu kangen tuh sama yang lain," ujarku dengan mata yang masih mengamati Diva dari kejauhan.

Bagas menepuk pundakku. "Lo mah nanti mulu, Ka. Ntar dia pulang, baru tau rasa!"

Aku tersenyum masam mendengar ucapan Bagas.

Bagas berdehem sambil menaik-naikkan alisnya. "Nanti lo mau ngapain sama dia, Ka? Bahas masa lalu atau bahas masa depan?"

"Bahas tesis S2, Gue!"

"Yang serius anjir."

"Dulu ... gue jadi orang yang pengecut banget, Gas. Gue nggak mau ngaku kalau sebenarnya dulu bahkan sampai sekarang gue cinta sama dia. Gue pengen nunjukin kalau sedari awal ... Diva nggak jatuh cinta sendirian. Cintanya dengan gue nggak bertepuk sebelah tangan."

Mata Bagas berbinar ketika mendengar ucapanku, sedangkan Fikri hanya memberikan dengusan lucu sebagai tanda ia senang dengan keputusanku. Keputusan untuk menyatakan dan menceritakan semua kebenaran yang selama ini dianggap tak pernah terjadi, walaupun mungkin ... semua sudah terlambat. Sangat terlambat.

***

Tawa besar keluar dari mulut Bagas dan yang lainnya, sedangkan aku hanya tersenyum mendengar candaan yang baru saja dilontarkan. Fikri terlihat berbicara serius dengan Mega, ntah apa topiknya tapi bisa kurasakan bahwa mereka berdua sesekali melirik ke arahku dan Diva.

"Nggak ... nggak ada apa-apa, Sal," ucap Diva saat Salsa—teman kami—menanyainya kenapa sedari tadi tidak ikut berbicara dan matanya sibuk mengamati sekeliling, seperti ... tengah mencari seseorang.

Diva melihat ponselnya sejenak kemudian menatap sekeliling secara berulang-ulang. Mengabaikan ucapan dan candaan dari teman-temannya yang secara tidak sengaja membuatnya seperti keluar dari lingkup kami.

Sedari tadi aku hanya duduk, sesekali menanggapi obrolan mereka dan mencuri pandang ke arah Diva dengan lirikan kecil.

Hari ini Diva terlihat cantik. Ralat. Dia selalu terlihat cantik. Baik dulu maupun sekarang. Balutan dress berwarna merah muda tampak pas dan serasi ketika melekat dengan tubuhnya. Sepertinya postur tubuh Diva sudah mulai berisi dibandingkan saat SMA dulu. Potongan rambut Diva juga berubah menjadi sebahu yang kali ini ia biarkan tergerai bebas sehingga tampak mencolok diantara bridesmaid lainnya yang memilih untuk menyanggulnya atau menggunakan jilbab.

Reuni! [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang