Salam matcha, selamat membaca, ingat Mercapada.
Ig: Mercapada
• • •
Sekali pun tak pernah terbesit dalam benak Helena bahwa percakapan daring kemarin malam berlanjut dan semakin santai. Hal itu menimbulkan pengaruh besar pada Helena yang kerap kali bertingkah selayaknya seorang idiot karena perasaannya yang semakin menggebu kepada pria itu. Ada dua kemungkinan: Eksa memiliki kemampuan lebih dalam memikat perempuan, atau Helena yang terlalu terbawa perasaan.
Helena yakin bahwa Eksa memiliki rasa yang sama terhadapnya. Hal itu terbukti ketika mereka bertemu. Eksa sekali pun tak pernah menyurutkan senyum di depannya. Dalam beberapa kejadian, Eksa dengan terang-terangan menggandeng jemari Helena. Sebagai seorang gadis tomboy yang minim diperilakukan manis oleh lawan jenis, Helena merasa tersanjung dan lagi-lagi meyakinkan bahwa Eksa memang tidak main-main terhadapnya.
Pagi itu, para panitia berpencar sesuai pekerjaannya masing-masing setelah breefing.
"Helen, lo beli kopi buat Pak Amir (pembina OSIS) ya, gue mau ambil kue," ujar Mira, kakak kelasnya. Mereka kedapatan tugas yang sama—menjadi seksi konsumsi.
Helena sekadar mengangkat jempolnya tinggi-tinggi dengan senyuman lebar. Uang telah ia kantongi, jadi tidak perlu susah-susah mengejar Mira yang telah menghilang di belokan koridor depan sana. Perempuan dengan kaus olahraga SMA yang digulung sesiku, sepatu sport hitam, serta rambut dikuncir kuda dengan beberapa helai depan dibiarkan menjuntai itu melenggang menjauhi mimbar di lapangan utama.
Tetiba sesuatu yang hangat mengisi setiap sela jari jemari Helena yang bebas. Gadis itu mengerem badan. Mendapati Eksa yang menggamitnya dengan memperlihatkan wajah konyol.
"Gue nitip minum, ya," pintanya sembari memberikan selembaran uang kepada Helena.
Sesuatu hal lumrah jika panitia kadang kala meminta bantuan seksi konsumsi terkait hal begini.
"Kayak biasa?" tanya Helena. Eksa menggangguk girang seraya melepaskan pautan jemari—merasa senang jikalau Helena mengetahui hal yang ia suka atau sebaliknya.
"Iya, Sales Mizone," jawab Eksa. Helena mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi—jangan tanya, ia tidak bisa mengkat sebelah alisnya saja.
Sales Mizone merupan panggilan Eksa kepada Helena. Entah apa tujuannya, Helena tak tahu. Yang ia tahu, hal yang melatarbelakangi julukan itu tak lain karena Eksa beberapa kali mendapati Helena membeli mizone untuk diberikan kepada wasit.
"Dasar Kang Haus!" balas Helena.
Ya, Kang Haus sendiri tampaknya sebutan yang cocok untuk Eksa karena selalu merengek haus kepada Helena.
• • •
Arloji menunjukkan pukul satu siang. Ada dua pertandingan olahraga yang tengah berlangsung di depan Helena: bola basket dengan futsal dalam satu lapangan besar di luar ruangan. Entah keberapa kalinya gadis itu mengembuskan napas. Bosan. Pekerjaannya sekadar memberikan minuman dingin kepada wasit, serta berkeliling membagikan minuman dan makanan ringan kepada setiap panitia di penjuru sekolah. Semuanya sudah tuntas sejak tiga puluh menit yang lalu. Berikutnya, seksi konsumsi lain yang ambil bagian.
Seseorang duduk di atas lantai tangga di sebelahnya, persis di tepi lapangan tempat berdirinya stand panitia.
"Mau gak?" Eksa menyodorkan sebungkus sedang keripik kentang kepada Helena. Mulut pria itu pun dengan anteng mengunyahnya.
"Rasa apa?" Helena memalongkan wajah menahan senyum.
"Original," jawab Eksa.
Helena menerima keripik kentang itu. Sebetulnya sih, ia tidak ingin-ingin amat. Ya, barangkali Helena menghargai pemberian Eksa. Masa mau ditolak? Kan gak enak.
"Astaga!" Helena merutuk dalam hati. Duduk berdua bersama Eksa membuat pergerakan menyuap dan makannya hati-hati. Padahal teman-temannya acap kali mengatai Helena preman dan sebagainya karena tingkah Helena.
"Tunggu ya, gue dipanggil ketos," pamit Eksa. Helena mengangguk sejemang memperhatikan pria itu beranjak dari duduk kemudian berlari pergi.
Beberapa menit kemudian, Mira mengajaknya. "Helen, lokir kuy ke lapangan voli sama panitia yang lain!" Kakak kelasnya itu menduduki tempat Eksa barusan.
Karena tidak ada tanda-tanda Eksa akan kembali lagi, Helena menyambut uluran tangan Mira yang lebih dulu beranjak berdiri. Ia memaklumi. Pria itu sibuk sebagaimana mestinya.
Sepanjang perjalanan menuju lapangan voli di sebelah Timur gedung sekolah, Mira—perempuan sedikit gempal itu tak henti-henti mengajak Helena bercakap.
Setibanya di sana, Helena menggantikan salah satu panitia yang bertugas menggantung papan scoring board. Panitia itu tampak kelelahan dan kepanasan. Helena tak sampai hati membiarkannya, apalagi petugas itu seorang perempuan---pada beberapa kesempatan Helena masa bodoh dengan jenis kelaminnya sendiri.
Posisi papan angka itu tepat disoroti matahari. Panas dan menyengat. Helena yang hanya berbekal topi pinjaman sesekali menyipitkan dwinetra hitam biji buah lecinya tatkala wasit mengangkat lengan pada kubu pemenang poin.
Kala netra Helena mencoba fokus pada permainan, seseorang dengan tubuh tinggi menjulang menyekat sorotan matahari yang menerpanya. Itu Eksa. Seketika bibir perempuan itu mengulas senyum kecil walau tak begitu kentara, pun Eksa sebaliknya.
"Emang seksi acara boleh jadi pulbol?" tanya Helena dengan membagi fokusnya—lapangan dan Eksa. Entah kenapa pria itu ada di sini. Opini Helena—yang lebih seperti berharap—mengatakan bahwa pria itu dengan sengaja bertugas di dekatnya.
"Ya ... terserah seksi acara." Eksa mengejar bola yang menggelinding ke sebelah barat, kemudian kembali lagi pada tempat semula di depan Helena dengan posisi memunggungi.
Lagi-lagi, jantung Helena bertalu-talu; berpacu tak biasa. Rasanya menyengkan. Helena mendesah. Menahan senyum. Menggigit gemas pipi bagian dalam. Bagaimana Helena tidak luluh oleh Eksa jika terus saja diperlakukan sebegitu manisnya? Ya, setidaknya, Helena menyebut momen begini memang indah.
• • •
A/N: Wasap gais! Semoga kalian terhibur dengan aksi-sok-manis Eksa.
Karawang, 21 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialeksa [END]
Teen FictionBerawal dari sebuah percakapan daring, Helena Tari meyakini suatu hal: Gyandra Deksa berniat mendekatinya. Klise. Akankah hubungan mereka berujung manis sebagaimana yang dibayangkan, atau berakhir menjadi sebuah kesia-siaan? ©2020 Mercapada on watt...