: Epilog :

86 28 56
                                    

Salam matcha, selamat membaca, ingat Mercapada.

Ig: mercapada

• • •

Hari berikutnya seusai pembelajaran berakhir, ketua angkatan menghadang langkah Helena menuju parkiran. Pria itu meminta maaf atas kejadian kemarin, dan sudah memutuskan untuk memakai konsep Helena pada penampilan lima hari mendatang---karena pria itu tidak menemukan pementasan yang bagus menurutnya. Respons Helena tidak menunjukkan apa pun; kesal atau senang. Ia hanya berujar, "Besok kita mulai latihan. Kalo sekarang anak-anak udah pada pulang. Yaudah, gue juga mau balik. Bye."

Setibanya di rumah, masuk ke kamar, berganti pakaian, Helena merebahkan badannya di atas dipan. Rambut yang ia biarkan tergerai meliar ke mana-mana. Celana hitam selutut dan kaus pendek hijau lumut membalut tubuhnya.

Harus Helena akui, pengaruh Eksa padanya sudah kelewat batas yang ia tetapkan: jangan biarkan dirimu jatuh terlalu dalam. Seharian tadi di sekolah, Helena mengharapkan permintaan maaf dari Eksa, dengan tujuan abstrak, dan mengobrol sepatah dua patah kata untuk merilekskan kegundahannya. Helena tentu merasa tak karuan. Terlepas apa yang pria itu perbuat, hatinya tetap terpatri pada Eska walau ia telah mengabsen hal buruk yang orang itu miliki.

Helena mengambil kertas dan pena untuk menuangkan gundahnya.

• • •

Dear Diary,

Aku tahu kedekatan kita takkan berbuah manis sebagaimana yang aku inginkan. Namun setelah apa yang kamu tawarkan tentang sebuah hubungan, salahkan aku untuk meminta kepastian?

Aku tahu konsekuensi pendekatan. Maka sudah aku pastikan, hati ini siap ditinggalkan.

Sebetulnya, aku sudah menyiapkan sebuah puisi perpisahan kendatipun kita masih berbarengan. Masih aku simpan. Urung aku berikan.

Aku ingin memaki, tetapi kepada siapa?
Aku ingin membenci, tetapi buat apa?

Tak ada gunanya. Sama seperti kita yang berakhir sia-sia.

• • •

No! Helena mengepalkan jari-jemari. Ini bukan Helena sekali. Rasanya pada Eksa akan meluruh seiring berjalannya waktu. Helena yakin. Gadis itu menggigit bibir bawah, gemas. Eksa tidak akan pernah Helena lupakan. Tapi, bagaimana perasaan ini? Ia naif. Sebelum dan sesudah rasa itu membumbung ke permukaan, seharusnya tidak ada cinta dalam pertemanan.

Tetapi, apa itu cinta? Helena menyuarakannya dalam hati berulang kali, hingga tergumam lirih melalui bibir ranumnya yang kini pecah-pecah.

Ia sendiri tak tahu makna dari cinta. Ia hanya seorang anak SMA yang sebetulnya tak mengerti apa-apa. Cinta. Cinta. Cinta. Apa itu? Tak ubahnya sekadar mendatangkan kesengsaraan saja. Helena mulai mengiba pada dirinya sendiri. Namun daripada itu, tak ada setitik pun air mata yang meluruh. Helena hanya merasakan emosinya yang berkecamuk.

Air mata nilainya berharga. Begitu pikir Helena. Maka ia pun menjatuhkannya untuk sesuatu yang berharga pula. Tetapi bukankah Eksa pun bernilai buat Helena? Gadis itu berdecak. Betulkah rasa cinta Helena untuk pria itu? Helena kembali meragukan perasaannya sendiri.

Setengah jam lamanya memandangi langit-langit kamar dan berspekulasi liar, Helena membawa tubuhnya ke kamar kecil. Membasuh muka dengan air banyak-banyak mungkin akan membuatnya sedikit lebih santai. Sekembalinya dengan rambut dan pakaian setengah basah, Helena menjatuhkan diri di kursi belajar. Kembali menetralkan napas. Ia menggebrak meja. Berteriak histeris---untung tidak ada orang di rumah.

"Fokus belajar! Fokus menata masa depan! Eksa adalah salah satu hambatan buat maju. Sebagaimana karang di lautan yang menghalangi perahu gue untuk berlayar ke pulau impian."

Pantaskan Helena meraung-raung karena Eksa, sedang ia sendiri mewanti-wanti hal itu dan memprediksi kemungkitan terburuk atas sebuah pendekatan? Tidak! Helena bukan gadis lemah. Ia harus membuktikan kepada Eksa, lebih-lebih kepada dirinya sendiri, kalau kehidupan Helena tetap sama sebagaimana dulu sebelum ia mengenal Eksa. Semuanya akan pulih.

Eksa bukan alasan untuk keterpurukan. Helena harus segera bangkit dan menyibak tirai guna membiarkan mentari sore menyeruak masuk dan membangkitkan gairah Helena untuk terus melanjutkan hidup selayaknya remaja tanpa kenal cinta lawan jenis. Right! Dunia tetap berputar kendatipun Helena terpuruk. Waktu tidak akan menunggunya bangkit kecuali Helena sendiri yang mengubah pemikirannya dan berjalan beriringan bersama waktu.

Tidak ada salahnya bersandiwara dengan bersikap baik-baik saja. Justru dengan begitu, Helena bisa menutupi sakit yang ia rasa dengan senyuman cerah walau tampak hampa. Helena mengikik. Membiarkan rambutnya digoyangkan angin sore di balkon kamar.

• • •

Hari berikutnya, Helena kembali ke sekolah. Beban yang ia rasa seolah terangkat satu persatu hanya dengan mengadu kepada Sang Pencipta. Helena melega. Ia bisa menjalankan aktifitas secara normal walau terkadang merasa sesak secara tiba-tiba. Setidaknya, Helena masih bisa bersenda-gurau dengan Akbar, merecoki anak kelas, dan mencomoti makanan pada jam istirahat. Semuanya masih berjalan normal.

Sepulang sekolah, Helena menggarap habis latihan drama untuk pementasan empat hari mendatang. Eksa hadir? Tentu saja. Pria itu menyapa dan tersenyum seperti biasa. Helena sempat bimbang dan membetulkan kelakar Akbar kalau Eksa bipolar. Tetapi, Helena membiarkan. Membalas sapaan dan senyuman seolah tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.

Helena beropini, hanya karena Eksa pernah menyakiti, tidak seharusnya Helena ikut membenci. Jikalau pepatah 'air susu dibalas air tuba' Helena balikkan: 'Air tuba dibalas air susu'. Tidak ada salahnya, 'kan? Helena memakai perumpamaan terbalik itu. Bahwa sesungguhnya kejahatan dibalas dengan kebaikan. Kalau kejahatan bertubrukan, peradaban manusia lamba laun akan mengikis karena di mana-mana terjadi pertikaian. Itu terdengar mengerikan.

"Gue ada permintaan. Bisa lo kabulkan?" tanya Helena pada saat istirahat latihan. Eksa sempat terkejut dan ragu-ragu untuk mengiakan. "Mudah, kok." Akhirnya, Eksa mengangguk.

"Gue mau kenalan ulang sama lo, kayak dulu waktu kita pertama ketemu pas MPLS." Helena mengulurkan lengan kanan. Menjabat tangan Eksa. "Anggap aja kita belum kenal sebelumnya," tambah Helena.

"Nama gue Helena Tari, panggil aja Helen. Kalau lo, namanya siapa?" Helena tersenyum menunggu Eksa yang kentara bingung.

"Gyandra Deksa, dipanggil Eksa." Jabatan tangan terurai. Eksa tersenyum.

Helena seolah membuka lembaran baru. Merajut kembali masa SMA-nya dengan berkenalan ulang bersama Eksa. Menyingkirkan perasaannya sejenak untuk meyakinkan pada diri: Eksa adalah teman.

T A M A T

• • •

A/N: Don't be sad, Helena.

Hai, sudah akhirna, nih.
Gimana perasaan kalian?
Apa yang kalian pikirkan?
Perlukah gue bikin part tambahan untuk menjelaskan kenapa Eksa menjauh?

Dialeksa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang