: 07 : Bagaimana? :

33 12 2
                                    

Salam matcha, selamat membaca, ingat Mercapada

Ig: mercapada

• • •

Aroma kopi menyeruak nikmat menusuk penciuman Helena. Kepulan asap panas membumbung samar di antara chaos-nya pengunjung kantin pada hari itu. Ia meraih cangkir, meniup-niupnya penuh nafsu, lantas meneguknya perlahan. Tenang dan candu.

Helena memukul-mukul udara kosong di depannya serupa seorang idiot saja. Masa bodoh pada setiap mulut yang mengatainya gila.

"Eksa gak bales pesan lo sejak dua hari yang lalu, terus lo ngajak gue ke kantin daripada terima tawaran Akbar, begitu?" Naya luar biasa jengkel dengan respons Helena yang seadanya, manggut-manggut atau menggelengkan kepala, sementara mulutnya enggan bersua.

"Ngobrol aja sono sama kambing. Geleng, manggut, nonjok udara. Gila lo!" gemas Naya menurut apa yang Helena lihat.

Helena menggebrak meja mendramatisir. Naya mengumpat pelan. Malu-maluin!

"Padahal dia onlen, Nay!" Tubuh Helena merosot seolah tak memiliki penopang raga yang baik.

"Dasar tuh cowok! Eh, emang lo beneran demen?" Naya memastikan.

"Ck! Gak tahu ah!" timpal Helena kesal.

"Sarap, lo. Buruan ah balik ke kelas!" Naya menandas habis jus mangganya diikuti Helena.

• • •

Pada waktu istirahat pertama, Naya menjemput Helena ke kelasnya untuk mengobrol di lorong ruang ekstra kulikuler. Tidak terlalu sepi, namun tidak tampak ramai. Helena pasrah mengikuti. Jika boleh memilih, kalau warta Naya sekadar basa-basi, lebih baik menghafal tabel periodik. Tidak, tidak. Helena bukan perempuan kelewat pintar yang berkawan dengan hal-hal membosankan. Akan tetapi, lingkungan kelasnya yang menjadikan ia sedikit rajin.

Ucapan Naya jauh dari prediksi. membungkam penuh bibir Helena.

"Katanya, Eksa kasian banget." Naya menjeda. Memilih berdiri bersandarkan tembok daripada duduk si samping Helena. "Setelah ayahnya meninggal sejak dia SD, Eksa hidup bertiga sama ibu dan kakak perempuannya."

Oh, tentang Eksa, rupanya. Helena pernah meminta bantuan Naya untuk mencari tahu perihal Eksa. Tampaknya, barangkali, Helena terlalu enggan mencari tahu langsung. Ah, dasar gengsi.

"Gue gak tahu apa-apa, dan gue merasa bodoh," serobot Helena.

"Gue gak tahu pasti, tapi kata saudaranya, ayah Eksa meninggal karena sakit. Kebayang gak sih, anak kelas empat SD kehilangan orang yang jadi panutannya?" Naya menghela napas.

Helena mengerjapkan matanya berulang kali menyadari sesuatu. "Ah, ya! Pantes aja Eksa gak pernah sekadar ceritain ayahnya ke gue. Dia pernah bicara banyak soal kakaknya dan ibunya, tapi enggak dengan ayahnya."

Naya mengangkat kedua bahu. "Dia belum siap cerita, maybe? Kan gak ada yang tahu."

"Gue merasa bersalah."

"For what?" Naya mengernyit heran.

"Eksa pernah nanyain keseruan yang dilakukan seorang anak dengan ayahnya. Tanpa sungkan dan rasa curiga, gue menceritakan ayah gue apa adanya. Gemar musik jazz, memiliki pemikiran yang luas, suka ngelawak, dan hal-hal lainnya yang menyenangkan," terang Helena.

Naya semakin mengernyit. Meminta penjelasan lebih, atau tampaknya tidak mencerna penuturan Helena.

"Gue menceritakan itu dengan luwes, tanpa menaruh curiga kalau apa yang gue ceritakan berpotensi menyayat-nyatat hati Eksa. Dan lagi, kenapa dia bertanya begitu?" tutur Helena sembari memandangi air muka Naya.

Dialeksa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang