CHAPTER 39

310 26 0
                                    

Udara dinginnya malam menusuk kulit, hembusan angin malam yang bertiup kencang menerbangkan beberapa helai rambut panjang Kinara.

Keduanya kini masuk kedalam mobil, meninggalkan bandara Soekarno Hatta bersama kenangan yang tersisa.

Kinara menatap Benaya yang terduduk diam di sampingnya, sejak turun dari kabin pesawat, Benaya tidak mengatakan sepatah kata. Dia hanya diam seperti itu saja. Membuat Kinara banyak bertanya-tanya. Apa ia pernah salah bicara?

Kinara bersiul, ia berharap Benaya meliriknya. Tapi mungkin siulannya yang tidak sehebat pelatih burung beo atau burung itu sendiri, membuatnya terlihat hanya membuang tenaga sia-sia, suara Kinara hilang, sejak tadi ia hanya memajukan bibirnya hingga pegal.

Pura-pura terbatuk agar Benaya mau mengalihkan pandangan ke arahnya adalah pilihan lain. Namun, lagi-lagi Benaya tidak tergerak. Seperti yang telah ia duga, Benaya hanya pura-pura tidak mendengar. Benaya tetap terfokus pada layar yang ada di hadapannya dan mengacuhkan Kinara.

Kinara terpaksa menarik benda yang menutupi telinga Benaya, ia bersiul lagi. Kali ini Kinara mencoba bersiul dengan benar.

Kini Benaya melirik, merubah ekspresi biasa saja menjadi tertarik. Kenapa daritadi Kinara tidak melepas earphone itu dahulu sebelum bersiul, tenaganya mungkin tidak akan cepat habis terbuang. Bibirnya juga tidak akan pegal.

"Gue bukan burung! " ucapnya tajam.

"Kara tadi lagi latihan jadi prajurit, komandan!"

"Nggak lucu! " balas Benaya, dia kembali terdiam dan kembali memandangi layar yang ada didepannya.

"Kalo kamu lagi nggak marah, aku yakin kamu akan ketawa ngakak!" cuapnya.

"Jangan kepedean, gaada gunanya gue marah sama lo! "

"Kara hanya memancing, ternyata Benaya memang tidak sedang marah kan? " tanya Kinara melebarkan senyumannya.

Benaya kini memandang wajah Kinara dengan datar, dia terus-menerus memandangi gadis itu hingga Kinara kini menutupi wajahnya karena malu.

Dengan terpaksa ia membimbing tangannya untuk menutupi mata Benaya, "Jangan liatin terus dong, nanti Kara jadi malu! " ucapnya tersipu. Benaya menyingkirkan tangan itu dari wajahnya.

Dia menatap Kinara lagi, kali ini sambil berdeham, "Lupain semua janji-janji yang udah gue buat Ra, gue nggak akan bisa nepatin janji palsu itu! " ucapnya dingin dan terdengar ragu-ragu.

Kinara sontak membelalakkan matanya, "Maksud Bena apa? Kamu mau ninggalin Kara? "

"Untuk sekarang belum, "

Kinara terdiam mencoba mencerna. Apa Benaya mencoba berniat meninggalkannya? Apa tidak lama lagi dia akan memutuskan Kinara ? Oh semesta, cobaan apalagi ini, baru 2 hari mereka berpacaran.

Masa iya Kinara harus dihadapkan dengan masalah lagi? Ditambah solusi dari masalah itu adalah berpisah? Tidak semesta, jangan ajak Kinara untuk bercanda, Kinara sedang tidak ingin bercanda.

"Bena akan ninggalin Kara? " tanyanya lagi memastikan, suaranya sangat pelan membuat Kinara nyaris berbisik. Kinara menutupi telinganya, berharap jawaban itu adalah 'Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu tenang saja.'.

Tidak mungkin Benaya akan meninggalkannya. Benaya sangat serius dan tidak main-main dengan perkataannya malam itu. Kinara melepas tangannya yang menutupi telinga dengan perlahan. Saat dirasa telinga sudah cukup untuk mendengar jawaban dari Benaya. Ia menghela nafasnya dengan berat.

Tanpa basa-basi Benaya menjawab, "Pasti. "

Kinara mengalihkan pandangannya ke kaca jendela, ia tersenyum getir, airmatanya terjun ke pipi, dadanya sesak, lawan bicaranya kali ini membuatnya ingin segera menghilang dari bumi dan mengasingkan diri.

BENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang