T i g a

46 13 8
                                    

Aku menghela nafas. Rasanya aku seperti mafia yang sedang berusaha semaksimal mungkin untuk bersembunyi dari pihak berwenang. Sejak pagi tadi aku was-was, memandang curiga tiap tempat dan berusaha untuk bersikap hati-hati. Belajar dari apa yang terjadi kemarin, aku tak ingin wajah cengo yang memalukan itu ku ekspresikan lagi dihadapannya karena rayuan murahan tak bermutu miliknya. Memalukan. Lagipula siapa yang bisa menyangka ia akan merayuku di saat seperti itu? Aku kesal karena tidak bisa mengatur rona wajah dan ekspresiku ketika sedang baper akut. Ini menyebalkan.

Jadi, untuk menghindari baper akut yang tidak perlu, aku hanya duduk di kelas sepanjang hari. Kalaupun keluar kelas, aku bersikap was-was dan bergerak dengan mengendap-endap walau itu justru membuatku jadi pusat perhatian banyak orang.

Astaga. Kalau dipikir lagi ternyata ini juga cukup memalukan.

"Lagi apa sih, mbak?"

"Buset!"

Ia tertawa begitu renyah karena berhasil mengagetkanku. Aku mengusap dadaku walau tak tahu apakah itu bisa menenangkan detak jantungku setelah menerima serangan dadakan darinya. "Ngapain sih? Ngagetin orang aja!" Dia menaikkan alis, "Memangnya kamu orang?"

Aku mencubit pinggangnya gemas tetapi seperti biasa ia tertawa. Hm. Melihat responnya yang tertawa tiap kali ku cubit membuatku sempat berpikir mungkin dia adalah seorang masokis. "Duh, jangan dicubit mulu sakit tau!" Protesnya membuatku berdecak, "Sakit tapi ketawa." Posisinya saat ini berlutut di samping mejaku. Melipat tangan, ia menopang dagunya disana. Melihat senyuman manisnya membuatku khawatir. Selain khawatir tentang kesehatan jantungku ketika melihat senyuman maut itu, aku juga takut setelah ini ia akan memporakporandakan hatiku. "Abis kamu lucu tahu kalo ngamuk," ucapnya dengan nada menggantung dan berhasil membuatku menunggu lanjutan perkataannya. "Lucu banget. Kayak gorila."

Pletak!

"Adaw!" Kini ia mengaduh sambil memegangi keningnya.

Jangan tanyakan bunyi apa itu. Intinya responku pada perkataannya berupa gerakan kecil dua jemari yang cukup untuk membuatnya meringis. Yap. Aku menyelintik keningnya. Katakanlah aku sadis. Tapi kalian mengerti perasaanku, kan?

Sudah sempat merasa melayang tinggi di langit tiba-tiba di jatuhkan ke jurang yang dalam. Walau hanya ungkapan tetap saja. Rasanya nyesek, cuy. Sakit hati hamba sakit!

"Cieee ada apa nih?" Tanya Satya, salah satu teman sekelas kami. Aku mengerjap, sedangkan ia cengengesan dan menunjukkan dua jari, "Peace!"

Satya tersenyum jahil dan entah kenapa aku merasa manusia lucknut satu ini akan membuat keributan. Benar saja, begitu Satya berbalik badan dan berjalan tiga langkah dari tempatnya berdiri tadi lelaki itu berteriak sekuat yang ia bisa. "WOOOIII ADA YANG JADIAN NIIIH!" Teriaknya sambil menunjuk ke arah kami.

Tentu itu berhasil menarik perhatian teman sekelas kami. Semua langsung melihat ke arah kami dan respon mereka bermacam-macam. Mulai dari sorakan cie, bucin, bahkan beberapa mengucapkan selamat. Aku berusaha menjelaskan tetapi Satya justru memotong ucapanku. "Udah, deh. Ga usah malu gitu. Biasanya juga ga tau malu."

Bugh!

Tidak, tidak. Jangan cemas. Aku hanya memukul perutnya pelan. Bunyi itu hanya sound effect tapi versi alami.

Satya mengaduh kesakitan. Ketika aku memalingkan wajahku ke sebelah kiri, dapat ku lihat ia masih memandangiku sambil tersenyum. Ia tampak tak begitu peduli dengan sahabat karibnya di ekskul basket yang baru saja ku pukul dengan sadis.

"Imut," pujinya lembut tepat ketika suasana cukup hening. Satu kelas terdiam sebelum kembali mengeluarkan sorakan yang lebih dahsyat lagi.

"CIEEEEE!"

Dalam hati, aku hanya bisa berharap sepuluh hari yang terasa bagai di batas surga dan neraka ini bisa cepat berakhir.

⌛-Satu sampai Sepuluh-⏳

Heyhooo!

Apa kabar semuanya? Semoga sehat-sehat aja, ya♡

Jangan lupa berikan vote dan komentar untuk apresiasi, dukungan, serta kritik dan saran♡

See you!

Satu sampai Sepuluh [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang