Bel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa dengan semangat berjalan riang keluar dari kelas baik sendiri maupun bersama teman satu geng. Biasanya aku pun seperti itu.
Tapi, tidak hari ini.
Aku melihat ke arahnya yang memasukkan buku ke dalam tas dan mengambil pakaian yang biasa ia kenakan untuk latihan basket. Kemudian ia berlalu begitu saja meninggalkan kelas. Menghela nafas, aku jadi tidak mood melihatnya berlatih. Apa aku tak usah menontonnya hari ini?
Duh. Untuk apa aku memikirkan ini? Menontonnya sedang latihan basket bukanlah suatu keharusan. Dia bahkan tak pernah memintaku untuk melakukan itu.
Aku berjalan gontai keluar kelas. Masih bingung memilih antara aku akan tetap menontonnya atau tidak menontonnya. Tak terasa kini aku sudah sampai pada tempat penentuan. Tempat yang ku pijak saat ini adalah persimpangan antara lapangan dan gerbang sekolah.
Mungkin akan lebih baik jika aku pulang.
Baru saja aku melangkah, aku bisa mendengar suara seseorang memanggil namanya. Itu suara Alya. Aku langsung menoleh, mendapati Alya yang terengah kini memegangi lutut dihadapan si dia yang ku cinta. Mereka tampak membicarakan sesuatu yang serius, terlihat dari responnya yang mengernyit pada Alya.
Haruskah aku kesana?
Tidak, tidak. Aku bukan pacarnya. Tak perlu tahu apa yang mereka bicarakan. Bahkan jika Alya menembaknya sekali pun, aku tak perlu tahu.
Tunggu, apa?
Menghela nafas, aku mengambil langkah rumit.
Aku berbalik dan menuju lapangan. Rasa penasaran bin kepo ini tak tertahankan apalagi ini menyangkut si dia. Aku menduduki tempat yang biasa aku tempati. Menatap mereka yang di pinggir lapangan.
Bodohnya aku. Kalau begini aku tak akan mengetahui apa-apa. Tapi mau kesana pun pinggir lapangan ramai dengan pemain basket lainnya. Aku hanya bisa melihatnya dari tempat ini. Menggigit jari, aku dapat melihat Alya kini sudah pulang dengan senyuman begitupun dia. Cepat juga selesainya. Tapi, kenapa mereka senyum?
KENAPA?!
Sudahlah. Sia-sia aku disini. Apa aku pulang saja?
Aku dapat melihatnya menatap ke arahku. Berusaha seperti biasa, aku tersenyum dan melambaikan tangan. Ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya balas melambai.
Tuh, kan! Mencurigakan!
Jika biasanya aku melihatnya latihan dengan senyum serta cengiran kuda tak jelas, hari ini aku menatapnya serius. Lebih serius dibanding pelatih sepak bola terkenal melihat tim yang dilatihnya sedang bertanding. Sesekali aku melirik jam tanganku, berharap jarum jam berputar lebih cepat agar ia pulang dan aku bisa mengintrogasinya. Persetan dengan status pacar atau bukan. Rasa penasaranku ini lebih penting.
Tiga jam yang menurutku sangat lama itu usai. Ia kini sudah selesai latihan dan aku pun menghampirinya. Tersenyum kecil, ia menatapku jahil. "Lagi datang bulan, Mbak?" Aku melipat tangan di dada dan berekspresi serius. "Gak."
Melihat responku membuatnya menaikkan alis. "Kenapa, Sayang?" Tanyanya kini merangkulku. Ku tepis tangannya dan melipat tanganku di dada. "Gak usah gitu! Kamu bau banget!"
"Kenapa, sih?" Tanyanya yang ku balas gelengan. "Udah ayo cepet pulang!"
Ia menatapku aneh namun menurut. Meraih jemariku, ia menggenggamnya seperti biasa dan berjalan pulang bersamaku. Hening menyelimuti kami. Aku merutuki diriku sendiri karena marah-marah tak jelas padanya. Menggigit bibir, aku menunduk.
"Kenapa?" Tanyanya khawatir dan berhenti berjalan. Aku balas menatapnya dan kembali menunduk. Ia mengangkat daguku, "Kenapa?"
"Aku.. aku mau nanya." Balasku memberanikan diri. Ia menaikkan alis sedangkan aku menetralkan pernapasanku afar tak gugup. "Eng, anu. Aku.. aku gak sengaja lihat! T-tapi.. itu.."
"Itu apa?"
"Kamu ngomongin apa bareng Alya?!" Seruku tanpa sadar sambil memicing. Ia terkesiap dan aku membuka mataku perlahan. Terdiam, ia tertawa kemudian. Pipiku merona malu. "I-ih! Apaan sih? Jawab!" Kesalku yang justru mendapat respon cubitan di pipi darinya. "Lucu banget sih. Cemburu ceritanya?"
Aku menggembungkan pipi, menatap ke arah lain. Ia masih saja tersenyum. "Bagus, deh."
"Hm?" Responku bingung yang dibalas gelengan kepala olehnya. Menghembuskan nafas, ia berucap. "Kak Yovan pujaanmu itu minta maaf karena ngerasa ga enak ngobrol sama kamu dibelakang aku."
Aku mengerjap sebelum mengangguk paham, "Karena dia kira kita pacaran, ya?" Gumamku pelan. Aduh. Bagaimana ini? Aku sudah berpikiran buruk ke Alya. Setelah melihat keduanya bicara serius lalu tersenyum tadi, aku sempat pikir wajah lesu Alya beberapa hari lalu bukan karena Kak Yovan menyukaiku, tetapi karena dia kira aku berpacaran dengan kecoa terbang satu ini. Parahnya aku pikir Alya sedang mengutarakan perasaannya seperti Kak Yovan menembakku.
"Udah ngerti kan, Sayang?" Tanya cecunguk satu ini membuatku menatapnya tajam. "Sayang, sayang, kepalamu peyang!"
"Selama ini aku panggilin gitu kamu gak protes, tuh." Balasnya santai membuatku terdiam.
Eh? Masa, sih? Apa karena aku memang suka dia jadi gak sadar, ya?
Aku memalingkan wajah darinya agar ia tak melihat pipiku yang sedang semerah tomat. Tapi itu justru membuatnya menarikku ke dalam rangkulannya. Ia mendekatkan wajahnya ke telingaku, berbisik.
"Kalau lagi cemburu kamu imut banget, ya."
Sialan.
⌛-Satu sampai Sepuluh-⏳
Kamu imut deh♡
Tapi masih lebih imutan author'^'♡
//dihujat netizen
//dikeroyok
//dibakar
//dijadiin tumbal buat bikini bottomCanda, sayang♡
Gimana part ini?
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar untuk mendukung, memberi apresiasi, kritik, dan saran♡
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu sampai Sepuluh [ Completed ]
Teen Fiction"Ga ada princess yang jatuh cinta sama kecoa terbang!" Bantahku lagi membuatnya terkekeh. "Kenapa ga ada? Cerita putri cinta sama pangeran kodok aja ada. Ga ada aturan yang larang percintaan putri sama kecoa, kan? Kamu ga boleh diskriminasi kecoa, d...