/ 2 /

2.2K 86 0
                                    

I was there for you
In your darkest times
I was there for you
In your darkest night

>>>>>>>>>>>>>>>>>><<<<<<<<<<<<<<<< 

Fri Dec 17, 2010

Sepuluh bulan setelah peristiwa itu terjadi. Aku dan Aaron selalu bersama. Dia selalu meminta pendapatku tentang rencana-rencana barunya. Dia sangat gemar menggambar. Ibunya pun seorang designer dan dia berencana ingin membangun kembali usaha ayahnya yang pernah bangkrut itu.

Aku selalu mensupport Aaron. Aku selalu mendukung usaha-usahanya. Terkadang dia mengeluh padaku mengapa usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Aku hanya dapat berkata.

“Tuhan pasti sedang merencanakan suatu hal yang indah untukmu Aaron. Itu artinya kau harus bersabar.”

“Sampai kapan aku harus bersabar? Aku lelah Rel.

“Tak ada kata berhenti untuk bersabar. Tuhan pun tak lelah untuk mengabuli semua permintaan hamba-hambanya.”

Sejak saat itu dia tidak mengeluh. Dia selalu berusaha sekuat tenaganya. Dalam keterpurukannya dia selalu berusaha dan berjuang. Hingga suatu saat Tuhan mengabuli permintaannya. Tapi aku tidak menyangka jika dia–Tuhan–mencoba menjauhkanku dari dirinya.

“Aku tidak mungkin melakukan hal ini!” teriaknya padaku. Aku tahu dia emosi sekarang. Seharusnya dia senang bahwa usahanya ini akan membuahkan hasil.

“Kau harus melakukannya. Ini mimpimu bukan?” Tidak aku tidak bisa membiarkan dia melakukan hal ini. Aku tidak bisa melepasnya begitu saja.

“Tapi ini berarti aku harus meninggalkan New York. Dan itu berarti aku harus meninggalkanmu juga.” Ada penekanan dalam setiap kata-katanya. Aku tahu bahwa dia suatu saat akan meninggalkanku. Dan aku harus rela melepasnya demi mimpi-mimpinya itu.

“Hanya sebentar. Dan kau akan kembali lagi kesini bukan?” ucapku ceria padanya. Padahal itu sangat bertolak belakang dengan perasaanku sekarang.

“Kau tak mengerti Rachel..” Serunya dengan kalimat yang sulit untuk aku deskripsikan.

“Demi mimpimu Aaron. Kau lihatkan? Tuhan telah mendengar doamu. Dia mengabulkan permintaanmu.” Sakit rasanya saat kata-kata itu terucap begitu saja dari dalam mulutku. Berat hati ini untuk melepasnya pergi. Untuk jauh dari pengawasanku. Untuk jauh dari pengelihatan mataku.

“Baik. Aku akan kesana. Demi mimpiku. Dan demi dirimu.” Kalimatnya terdengar begitu tegas dengan penuh tekad. Seharusnya aku senang. Mengapa aku malah menangis seperti ini?

Aaron Mike Harbinger mendapat surat permintaan untuk datang ke Paris kota mode yang menjadi pusat dunia. Demi mengembangkan karirnya yang sudah lama dia geluti. New York – Paris tidak begitu jauh bukan? Ucapku sendiri untuk menenangkan diriku.

Namun sikapnya berubah kepadaku sejak kejadian itu. Apakah dia berharap aku menghentikannya? Tidak itu tidak mungkin. Aku lebih memilih melepasnya ketimbang terus-terusan mendekapnya jika impiannya tidak dapat tersalurkan seperti itu. Tapi perih dan sakit hati ini melihat dia acuh padaku. Dia tetap menganggapku ada namun dia terlanjur dingin padaku. Bahkan dia mencoba berkata sesingkat mungkin padaku. Apakah dia marah?[]

MAPS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang