Di sebuah sore yang cerah, teriknya sinar mentari tak lagi menyengat kulit. Kilau jingga seiring matahari yang beranjak menuju peraduannya jadi potret paling cantik untuk di abadikan. Bukan diabadikan kamera, jenis apapun dan sehebat apapun kameranya, senja akan lebih indah jika diabadikan dengan mata telanjang. Begitu kata Awan.
"Jani, kamu masih suka langit?"
"Tentu saja, langit selalu menakjubkan"
"Apa yang paling menakjubkan?"
"Hmm, semuanya."
"Sekalipun hujan badai?"Aku terdiam. Memang langit saat hujan badai tak lebih menyeramkan dari apapun yang aku takuti. Gelap, petir yang saling menyambar, hujan lebat yang seolah olah turun dengan dendam kesumat. Langit saat hujan badai tak jauh berbeda seperti sedang meluapkan amarah sekaligus kesedihan yang dalam. Saat masih kecil aku pikir langit dan bumi sedang berperang, langit menyerang bumi dengan banyak senjata juga sepertinya banyak prajurit yang di kerahkan. Tapi anehnya, aku belum pernah tau bumi melawan langit dengan apa?
"Jani?"
"Hmm?"
"Kamu masih takut hujan? Kalo masih takut, akan aku ajari supaya kamu tidak takut lagi"Ah ya, gemuruh suara hujan saat malam hari tak pernah bisa membuatku tertidur nyenyak. Orang lain justru semakin nyaman saat tidur malam hari diiringi suara hujan. Rintik atau pun deras hujan tak pernah datang sendiri, pasti datang bergerombol dan gak cuma satu kali tetes tapi ribuan bahkan ratusan ribu dalam satu menit. Apalagi jika sudah mengenai genting, paralon, kaleng bekas dan benda benda lain yang menimbulkan suara bising jika tertimpa air hujan. Anehnya, senyenyak apapun tidur ku jika tiba tiba turun hujan aku selalu terbangun dan akan tertidur lagi jika hujannya sudah reda. Melelahkan memang apalagi jika aku sedang benar benar butuh istirahat. Tapi akhir akhir ini, berkat saran dari orang aneh yang bilang bahwa semua ketakutan ku hanya menyulitkan hidup ku, ketakutan pada suara hujan saat malam hari mulai membaik. Saat benar benar lelah dan tertidur, selebat apapun hujan turun pada saat itu aku tak lagi terjaga, bahkan sampai tak sadar hujan. Entah sihir apa yang digunakan orang aneh bernama Awan itu, dia cuma bilang begitu dan aku seperti terhipnotis.
"Aku bisa tidur nyenyak selebat dan selama apapun hujannya"
"Baguslah, mantra ku manjur"
"Mantra? Pantas saja ada yg aneh"
"Kamu percaya aku membacakan mantra untuk itu, Jani?"
"Kamu lebih gila dari sekedar membacakan mantra", dia tertawa dengan lesung pipit di kedua pipinya.Hari mulai gelap, langit kian jingga di satu sisi. Kepulan asap kendaraan semakin melangit, dengan deru mesin dan klakson yang bersautan menjadi pemandangan selanjutnya dari perjalanan langkah kami. Awan bilang jalan jalan sore adalah waktu yang tepat untuk menikmati hidup, meski aku tak pernah setuju karena selalu mendapat pemandangan tak mengenakan seperti ini. Jalan jalan sore dengan rute yang sama setiap hari rabu ini menjadi rutinitas aku dan Awan selama setengah tahun terakhir. Setelah sibuk dengan pekerjaannya berkutat dengan laptop dan buku buku sastranya, dia selalu menyempatkan menjemputku pada rabu sore, bukan menjemput tepatnya menarik secara paksa yang pada akhirnya jadi hal yang biasa. Aku pernah bertanya kenapa dari senin sampai minggu dia memilih rabu untuk jalan jalan sore bersama ku, padahal rabu masih hari produktif, dia cuma bilang rabu adalah hari kesukaanku. Dasar orang aneh.
Setelah sampai di bukit datar, tempat pemberhentian juga tujuan jalan jalan sore rutin kami, langit sudah benar benar gelap. Bukit ini bukan bukit yang akan gelap saat malam hari, justru akan semakin cantik saat hari sudah gelap. Meski begitu, bukit ini tak terlalu banyak didatangi orang karena orang orang di kota ini lebih banyak memilih bersantai di rumah setelah selesai begulat dengan segudang pekerjaannya. Awan yang tau tempat ini lebih dulu, dia bilang ini tempat favoritnya untuk mencari inspirasi. Memang tempat yang cocok untuk mencari ketenangan, pemandangan kerlap kerlip lampu kota nampak lebih indah dilihat dari bukit ini, aku sampai terkagum kagum saat pertama kali datang kesini.
"Jani?"
"Ya?"
"Kamu masih mau jalan jalan sore dengan ku?"
"Aku sudah sampai sini, tidak mungkin aku tidak mau."
"Bukan sekarang, tapi untuk selanjutnya?"
"Aku masih menyukai aroma bukit ini, angin dingin ini, lampu kota, walaupun aku tak suka pemandangan yang harus aku lewati untuk menikmati ini semua",Terlebih aku masih amat menikmati waktu yang berharga ini, aku sangat menikmati celoteh mu yang aneh dan selalu berubah tiap rabu. Aku masih ingin terus menikmatinya, sampai aku benar benar hafal ubin keberapa yang mulai rusak di trotoar sepajang jalan yang kita lewati, lampu merah yang mana yang paling lama di semua lampu merah yang kita lewati, tiang listrik mana yang selalu kamu pukul dan hal hal kecil lainnya. Aku masih ingin menikmatinya meski sampai lima tahun atau sepuluh tahun bahkan seumur hidupku. Meski memang pada akhirnya selalu aku yang kelelahan karena harus berjalan kaki cukup jauh, atau meski harus tetap menerjang hujan dengan basah kuyup dan kedinginan, aku masih ingin menikmati semua ini.
"Wan, boleh aku bertanya?"
"Tentu"
"Setelah aku pikir-pikir, Kamu tak pernah memanggil nama ku dengan lengkap, kamu selalu memanggilku dengan Jani, bukan Rin atau Jan atau bahkan Rinjani sekalipun, boleh aku tau alasannya?"
"Rinjani Dwi Kasuari"
"Ah, ini pertama kalinya kamu memanggil nama ku dengan lengkap,"Dia tersenyum, tapi tak sampai menunjukan lesung pipitnya, artinya dia tak benar benar sedang ingin tersenyum.
"Jani, kamu tau kenapa aku memanggilmu begitu?"
"Kenapa?"
"Karena ibu mu, bapakmu dan abangmu, mereka semua memanggilmu Jani, bukan Rin bukan Jan bukan Ani bahkan tidak juga dengan Rinjani. Aku hanya ingin sama seperti mereka. Kamu sepertinya tidak keberatan selama ini aku memanggil mu begitu, yasudah."
"Yaa memang tidak apa, aku hanya penasaran siapa tau kamu hanya tau bahwa nama ku Jani saja"Dia terdiam, aku ikut terdiam. Kita sama sama menyelami isi kepala masing masing, menatap lampu lampu kota yang kian terang saat hari benar benar gelap. Ada yang aneh dengan Awan, dia tidak seperti biasanya yang banyak bicara dan bertanya hal hal yang tidak semestinya keluar dari mulutnya. Kali ini dia seperti sedang menahan sesuatu, menimbang sesuatu, seperti sedang gelisah dan serba salah. Aku tak ingin bertanya, sebab saat dia banyak diam begini sebaiknya aku tak perlu bertanya kenapa cukup tunggu saja sampai dia membicarakan apa yang sedang membuatnya gelisah.
"Jani?"
"Ya, Awan. Aku masih disini, belum kemana mana"
"Kamu akan tetap jalan jalan sore ke bukit ini rabu depan?"
"Tentu saja, itu sudah jadi suatu keharusan"
"Meski tanpa aku?"Aku terdiam. Jalan jalan sore ini acara mu, aku melakukannya karena kamu, jika tanpa kamu, ah bukan, kenapa harus tanpa kamu?
"Kenapa?"
"Aku harus pergi, Jani."
"Kamu bisa sempatkan jalan jalan sore ini sebentar..."
"Tidak Jani. Tidak akan sempat."
"Sejauh apa?"
"Lebih jauh dari yang kamu bayangkan. Mungkin, juga tidak akan kembali."Aku tak lagi mampu menjawab, bibir ku tak mampu bersuara. Ini begitu mengagetkan, Awan.
"Jani, Aku harap jalan jalan sore ini, bukit ini, lampu lampu kota, juga pemandangan yang harus kamu lewati untuk menikmati ini semua, bisa jadi tempat mu berkeluh kesah. Meskipun kamu harus kelelahan saat kembali ke rumah mu, meskipun saat hujan tiba tiba turun, meskipun harus basah kuyup dan kedinginan, meskipun berjalan sendirian, aku harap bukit ini jadi tempat untuk mu mengadu pada ku. Aku akan selalu mendengar mu lewat daun, rumput, angin, juga langit yang kamu tatap, sejauh apapun aku dengan mu. Aku akan selalu mendengarmu. Kamu pun akan selalu mendengarku, sebab aku ada di dekatmu, di hati mu. Jani, aku menyayangimu dan bukit ini adalah saksinya."
![](https://img.wattpad.com/cover/179898196-288-k537691.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
cerpenku
RandomKumpulan cerpen yang random, Suka silahkan baca, tidak suka silahkan abaikan. Semoga bisa jadi penawar rindu untuk aku di masa depan :)