"Jun, kenapa lo ngajak gue kesini?"
Dia tidak bersuara, hanya tersenyum simpul lalu kembali menarik tangan ku menapaki deretan anak tangga yang tidak kunjung aku temukan ujungnya.
Sejak sore tadi, Juni seperti orang yang kesurupan. Dengan tampang yang tidak terdefinisikan, di bilang bahagia tapi juga membuat bulu kuduk berdiri, mengerikan. Dia memaksaku untuk ikut dengannya, tidak peduli apapun yang sedang aku lakukan dia terus saja menarik lengan ku. Aku menolak dengan berbagai macam cara, tidak mungkin aku harus meninggalkan panci yang masih mengepul diatas perapian, apalagi jika aku pergi, di rumah sedang tidak ada orang. Tapi dia terus saja merengek seperti anak TK yang minta dibelikan ikan cupang, kalo tidak dituruti pasti cemberut lalu tak akan menemui ku sampai seminggu kemudian.
"Juuunnn...", aku mulai kehabisan nafas, lutut ku sudah tak mampu untuk ditekuk lagi, "mau.. nga..pain.. sih?"
Entah sudah berapa ratus anak tangga yang sudah aku lewati, tapi belum juga terlihat ujung tangga yang menyiksa ini.
"Tanggung Ril, bentar lagi nyampe. Ayok, semangat!"
"Gila..lo...yaa..udahlah...cape..gue sampe..sini aja.."
"Yah cemen, mana nih April si wanita paling kuat di komplek Bulan? Naek tangga segini aja tepar"Aku sudah tak kuat meladeni ocehannya. Memang kesurupan apa sih sampai tidak ada raut lelah sedikitpun di wajahnya. Padahal biasanya saat joging 2 km saja dia sudah merengek minta berhenti setiap 10 langkah, atau minta pulang, bahkan merengek minta digendong, kemana Juni si cowo manja seplanet bumi ini?
"Ayok lanjut lagi. Kalo udah nyampe, gue jamin lo bakal nagih minta balik lagi ke tempat ini."
"Hahhh, nggak. Cukup sekali ini aja lo nyiksa gue, Jun"Setelah nafas ku mulai teratur, dengan sisa tenaga yang ada aku melanjutkan langkahku untuk menemukan ujung anak tangga sialan ini. Aku harus mengakhiri penderitaan ini, percuma jika aku tidak menemukan ujungnya. Lihat saja Jun, jika sampai atas sana tidak ada hal yang membuat lelah ku menghilang dalam sekejap, akan aku habisi kamu.
"Nah, gitu dong. Ini baru April yang gue kenal, pantang menyerah"
Selama menaiki anak tangga yang tak berujung ini, Juni tak berhenti mengoceh, bahkan bibirnya tak henti tersenyum. Dia bilang diatas sana akan jadi surga paling indah di dunia, katanya akan dia gunakan sebagai markas rahasia dan hanya aku yang boleh kesana selain dia, selebihnya aku tak begitu menangkap apa yang keluar dari mulutnya, aku terlalu lelah sampai sudah melihat banyak kunang kunang di kepala ku. Memang gila anak ini. Pada saat seperti ini aku benar benar merindukan Juni yang manja, yang tidak suka banyak bergerak karena tidak suka bau keringat, Juni yang paling susah diajak joging pagi, Juni yang selalu kalah saat adu panco dengan ku, dan Juni yang payah dalam pelajaran olahraga. Tolong kembalikan Juni yang aku rindukan.
"Kita hampir sampai, Ril"
Mendengar kata sampai, semangat ku yang tertinggal entah di anak tangga yang keberapa kembali berkobar. Pintu di ujung tangga begitu menyilaukan pandangan ku, rasanya semua lelah sirna begitu melihatnya, ah akhirnya aku bisa mengakhiri penderitaan ku ini. Juni langsung berlari meraih knop pintu, dia menoleh ke arah ku yang masih beberapa tangga dibawahnya.
"Setelah gue buka pintu ini, gue yakin lo gak bakal pernah nyesel."
Saat aku sampai didepan pintu itu, tanpa memberi ku waktu untuk bernafas, dia membuka pintunya dan melangkah lebih dulu.
Wush..
"Sialan lo Jun!"
Saat melangkahkan kaki melewati pintu itu, yang pertama kali tertangkap mata ku adalah lantai beton berlumut dengan beberapa genangan air juga alat pengatur udara yang sudah usang. Lantainya cukup luas dan hanya ada satu pencahayaan dari lampu kecil yang menggantung di dekat pintu tepat di atas tempat ku berdiri sekarang. Waahh setelah penderitaan menyiksa lutut dan kaki ku, yang aku dapatkan hanya atap gedung biasa yang bahkan di beberapa sudut sudah ditumbuhi rumput liar dan ilalang, memang gila si Juni ini, akan aku habisi kamu, Jun!.
"Kenapa masih begong di sana? Lo gak bakal liat apa apa dari sana, Ril"
"Gila lo, Jun! Becandaan lo kebangetan, nyiksa banget kalo gini caranya!"Lutut ku yang lemas tidak sanggup lagi untuk menopang tubuh, aku terduduk lemas di depan pintu. Juni tersenyum, lalu menghampirku.
"Lo tuh gak percayaan banget sih, gue bilang lo gak bakal liat apa apa dari sini"
"Tau lah! Terserah lo! Gue mau ngumpulin tenaga dulu buat ngehajar lo!"
"Wuihh, April yang galak tetep galak yaa pas lagi kecapean haha"
"Nyengir lo!? Gue tabok ancur lo!"
"Tenang dulu dong Ril, daripada ngehajar gue lebih baik lo pake tenaga lo buat ngelangkah ke sana"Sebenarnya ingin sekali aku hajar wajahnya, tapi aku juga penasaran apa yang sebenarnya harus aku lihat setelah penderitaan yang amat melelahkan ini.
"Nah, gimana? Dari sini kelihatan jelaskan?"
Dan, tadaaa!!!
Aku melihat hamparan bintang diatas kepala ku, benar-benar hamparan bintang paling indah yang pernah aku lihat seumur hidup ku. Sungguh indah, sungguh dan aku sedang tidak berbohong. Langitnya yang tak terlalu gelap pekat, mungkin karena terlalu di penuhi kerlip bintang yang entah berapa ribu atau juta jumlahnya. Beberapa kali ada bintang yang berekor, bukan satu dua tapi banyak, seperti sedang berkejaran satu sama lain lalu menghilang dalam kerlipan bintang yang lainnya. Ah, bulan pun tak kalah indah bertengger di atas sana. Dia jadi cahaya paling terang meski bentuknya tak bundar sempurna. Tak ada awan yang menghalangi eksistensi bulan dan jutaan bintang di atas sana, ini seperti langit milik mereka saja.Semua lelah dan penderitaanku selama menaiki anak tangga sialan tadi menguap entah hilang kemana, mungkin terbawa angin atau ikut melangit bersama mata ku yang tidak bisa berhenti menatap jutaan bintang di atas sana. Semakin lama, lututku yang lemas dan kaki ku yang kesakitan tak lagi merasakan apa apa, seperti melayang diantara kerlap kerlip bintang.
"Jangan melayang kesana dong, nanti gue gak bisa bedain mana bintang mana April, hehe"
Tanpa mengalihkan pandangan ku dari bintang bintang di langit, aku menjawab "Ah gila, Jun. Lo tau tempat ini dari mana? Sumpah gue suka banget tempat ini, demi apapun gue lebih suka tempat ini daripada kasur empuk gue, atau kamar lo yang ada game sama acnya, atau cafe yang jual chessecake paling enak sedunia, gue lebih suka tempat ini"
"Kalo ngomong liat orangnya dong. Terus gak niat bilang makasih gitu ?"
Aku menoleh, dia berdiri tepat disamping kanan ku, "Ck, iya makasih Juni ku sayang ututututu"
"Gue jauh lebih sayang sama lo, April."
Dia meraih tangan ku yang sedang asyik mengacak rambut berwarna coklat miliknya, lalu mengenggamnya, begitu erat. Aku kaget, refleks melepas genggamannya, tapi dia genggam lagi sampai aku benar-benar tak bisa melapaskannya. Aneh, biasanya aku langsung marah saat dia menyentuhku, tapi kali ini sebagian besar dari diriku tidak berontak untuk menolak.
"Sorry, tapi kayaknya gue gak mau cuman jadi sahabat lo, Ril"
KAMU SEDANG MEMBACA
cerpenku
RandomKumpulan cerpen yang random, Suka silahkan baca, tidak suka silahkan abaikan. Semoga bisa jadi penawar rindu untuk aku di masa depan :)