# 9

95 12 5
                                    

🍃Aku di sini bukanlah menunggu apa yang telah berlalu pergi, namun menanti apa yang aku yakini.🍃


Satu bulan berlalu. Kanaya berdiri didepan cermin. Dia menatap dirinya yang terbalut dengan kain Brukat berwarna peach, simpel namun elegan. Dia tak percaya hari ini ia akan melepas masa sulitnya sebagai seorang mahasiswi.

Dia sedikit merapihkan kerudungnya yang terlihat longgar, setelahnya tangannya yang lain terulur membenahi riasan wajah yang terlihat sedikit berantakan.

Waktu pelepasan mahasiswa tahun ini akan berlangsung sekitar dua jam lagi, jadilah Kanaya bisa sedikit bersantai dan merileks'kan tubunya. Dering handphone membuat Kanaya menoleh, diambilnya benda pipih itu dengan penuh harap.

Benar, kanaya berharap ada satu saja pesan masuk dari dia. Walau nyatanya harapan itu harus Kanaya kubur dalam-dalam setiap kali dia mendapati pesan itu tak ada satupun dari dia.

Begitupun sekarang ini, helaan nafas Kanaya terdengar begitu berat. Satu bulan lamanya Kanaya tidak lagi mendengar kabar dia , yang menghilang setelah Kanaya memutuskan hubungan sepihak sebulan lalu.

Tak bisa dipungkiri, Kanaya begitu merinduhkan sosoknya yang selalu menghiasi hari-harinya. Tapi perkataanya waktu itu tak bisa Kanaya terima, jika menyangkut Agama sebesar apapun rasa cinta Kanaya pada dia, Kanaya tak bisa memaafkan begitu saja.

Walaupun Kanaya harus berkorban dalam rasa sakit yang teramat setelahnya. Tapi dia yakin skenario-Nya lebih indah dari apa yang ia harapkan dari rencana manusia. Ya walaupun tetap saja Kanaya masih mengharap.

Tok tok

Kanaya menoleh saat pintu kamarnya diketuk, dia berjalan perlahan lalu membukanya

"Teh Bapak sama Ibu udah nunggu dibawah" Kanaya mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah adik bungsunya.

"Aduh cantiknya si neng" senyum Kanaya tak bisa dihindarkan mendengar pujian dari Ibunya, sesaat dia harus melupakan kesedihannya.

"Kan nurun dari ibu" kata Kanaya lantas wanita setengah baya itu terkekeh pelan mendengar penuturan putri sulungnya.

"Udah ayo nanti telat"

**

"Selamat ya"

"Kalian juga selamat"

Kanaya tersenyum sambil membalas ucapan selamat dua temannya, Sita dan Syfa. Mereka bertiga berpelukan seolah akan berpisah dan tak akan bertemu kembali.

"Udah ini jangan pada sombong ya" Kanaya dan Syfa tertawa mendengar perkataan Sita

"Kalo sombongnya sama si tengil kayak elu sih gapapa" Sita mengerut kesal mendengar jawaban Syfa.

"Fine, putus dua detik" lalu ketiganya tertawa

"Poto yuk, jarang-jarang kan liat kalian cantik, kalo gue sih tiap hari juga cantik" kata Sita narsis, membuat Kanaya dan Syfa merotasi bola mata malas, namun tak lama ketiganya kembali tertawa.

Setelahnya ketiga sahabat itu menghabiskan waktu dengan berfoto, sesekali mereka juga berfoto dengan keluarga masing masing.

"Kanaya" mendengar namanya di panggil Kanaya menoleh, dia sedikit terkejut melihat pria didepannya, namun sedetik kemudian dia tersenyum.

"Boleh foto bareng?" Kanaya mengangguk

"Boleh"

Lalu keduanya berfoto dengan berbagai gaya.

"Makasih Nay, oh iya ini buat kamu" pria itu menyerahkan satu buket bunga

"Makasih Juan"

"Sama-sama, emm aku kesana dulu. Sekali lagi makasih buat fotonya" Kanaya hanya mengangguk.

"Dia masih ga ada kabar?" Kanaya menoleh, lalu mengangguk pelan.

"Sabar Nay, itu artinya dia emang bukan yang terbaik buat lo" Kanaya kembali mengangguk lalu tersenyum.

"Eh abis ini gue mau ke foto studio, mau ikut?" Kanaya mengalihkan pembicaraan, Sita dan Syfa sempat menatap sendu pada sahabatnya, namun sedetik kemudian keduanya tersenyum lalu mengangguk.

"Foto keluarga bareng yuk, asik tuh" usul Syfa.

"Rame pasti, masing-masing bawa tiga orang"  timpal Sita

"Setuju, kalo gitu berangkat sekarang aja keburu siang"

**

Kanaya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, hari ini menyenangkan walau terasa berat baginya. Sepanjang acara Kanaya sama sekali tidak melihat dia.

Kanaya merasa bersalah. Dulu Kanaya ingat dia pernah merencanakan untuk acara wisuda, dia bilang akan menghabiskan waktu berdua. Kanaya menyesal karena tak bisa mengontrol ucapannya.

Hanya menangis yang bisa kanaya lakukan setelah penyesalan, bolehkah dia berharap? Dia berharap semua ini mimpi. Dia ingin hubungannya baik-baik saja. Tidak seperti sekarang.

Suara ketukan pintu membuat Kanaya mengusap wajahnya kasar, lalu dengan segera menghampiri pintu kamar.

"Ada apa Bu?" Tanya Kanaya setelah membuka pintu yang diketuk oleh sang Ibu

"Mandi dulu, terus turun kebawah. Pake kerudung ada tamu" tanpa bertanya lebih Kanaya mengangguk

**
Kanaya berjalan dengan tubuh lemasnya menuruni tangga.

"Neng" Kanaya mengangkat pendangannya lalu tersenyum saat sang Ibu berdiri dihadapannya

"Kenapa lama? Bapak ngeluh udah lapar katanya"

Kanaya memang sengaja berdiam diri lebih lama di dalam kamar mandi.

"Maaf Bu, tadi Naya hampir ketiduran pas berendam" Kanaya tersenyum kikuk

"Ada-ada aja, yaudah yuk"

Keduanya berjalan menuju ruang tengah, Ruang tamu lebih tepatnya. Kanaya sendiri bingung, dia kira Ibunya akan membawanya ke dapur untuk makan malam, tapi tidak.

"Maaf nunggu lama"

Langkah Kanaya terhenti, matanya membulat sempurna diikuti tetesan keluar dari keduanya. Apa ini mimpi? Mimpi yang ia inginkan? Jika benar tolong jangan bangunkan dia.

"Neng kenapa?"

Kanaya terdiam
.
.
.

"Andreas..."

Tbc

Huhuhu... aku ga tau ini ngefeel atau enggak😥

Habis ini beneran tamat 😄

United By Love [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang