7.

1.1K 151 15
                                    

Sepasang kaki jenjang Jiyeon berhenti di depan sebuah pintu apartemen yang menjadi saksi kebisuannya sejak sebelas menit lalu. Netranya menimbang, tampak ragu biarpun sebelah lengannya sudah terangkat; hendak mengetuk kokohnya benda persegi panjang tersebut.

Menarik napas dalam, Jiyeon memantapkan hati mengguguh papan kayu di depan. Menekan bel mungkin percuma, eksistensi di dalamnya tidak akan percaya sebab terlalu sering mendapat teror serupa.

Tiga kali ketukan ganjil; sebanyak lima. Kembali Jiyeon menarik napas panjang, mungkin tidak ada di dalam. Hampir saja heels dua belas centinya berputar arah manakala rungunya menangkap suara pintu dibuka.

Wajah rupawan yang lelah tersembul di antara celah. Menatap nyalang ke arah Jiyeon yang mendadak gusar. Digegatnya bibir bawah tak nyaman, lalu segera masuk ke dalam hunian Taehyung yang masih diam mematung.

Pria itu terlampau terkejut. Bahkan kakinya terkunci di balik pintu yang tertutup. Memerhatikan Jiyeon yang tampak masai. Surainya semrawut dan air mukanya keruh seperti tak tersentuh binar seharian.

"Kenapa?" sergap Jiyeon manakala tatapan Taehyung yang menyorot tak kunjung surut.

"Kau yang kenapa tiba-tiba datang?"

"Kenapa protes? Biasanya juga aku sering datang tanpa permisi,"

"Sudah tau begitu kenapa harus mengetuk pintu? Menyusahkan." Kemudian melangkah menuju kursi makan dan mendudukkan diri di sana. Jelaganya menyelisik lamat ke arah Jiyeon yang terlihat tak peduli. Sibuk mengedarkan pandangan, hingga binarnya redup tatkala mendapati foto diri terpajang apik di atas meja televisi.

"Kau benar-benar tidak bisa melupakanku, ya?" Tawa sumbang menguar. Entah, Jiyeon tidak bisa mendefinisikan apa yang sekarang sedang bercokol memenuhi hatinya.

"Menurutmu?" balas Taehyung setelah terdiam hanpir tiga menit. Lagipula tidak ada guna menyangkal sebab apa yang tersaji cukup mewakilkan.

"Tentu saja tidak." Ranum sewarna Anemone itu menguarkan kekehan. "Kita sama," tambahnya sembari menubrukkan dua pasang manik mereka.

Taehyung tercekat. Genggamannya pada botol air menguat tanpa sadar. Obsidian kelamnya bergetar demi membalas tatap teduh yang Jiyeon layangkan. Ah, sudah berapa lama Taehyung tidak melihatnya. Hanya dulu ketika mereka masih baik-baik saja, maka Jiyeon akan memberikan rumah dalam teduhnya almond sewarna mahoninya. menyebarkan hangat dalam perapian sorotnya yang tajam.

Taehyung jadi rindu.

Sebab setelah empat tahun bersama, mereka sekarang jauh dari baik-baik saja. Hampir karam dan tidak terselamatkan. Hanya tersisa puing kenangan yang coba Taehyung satukan sekuat tenaga. Sayang, agaknya hanya Taehyung yang berusaha di sini.

Akan tetapi, melihat Jiyeon yang datang kembali bersama dengan tungku perapiannya, mau tak mau jiwa tersepai Taehyung mulai utuh. Hamburannya kembali merajut asa. Meminta Taehyung kembali menghamba seperti sedia kala; meskipun ia masih melakukannya sampai saat ini.

"Kau melantur?"

"Apa aku terlihat begitu?"

Sepasang kaki jenjang itu mendekati Taehyung yang mematung. Tubuh gagahnya kaku tatkala Jiyeon membuat pandangan mereka sejajar dalam sebuah garis semu.

Lama tatapan mereka saling bersiborok, mencoba mengurai perasaan dalam bisunya kata. Saling menyelami dalamnya samudera yang tersembunyi di balik kokohnya retina. Mencari apa yang selama ini hilang dalam jiwa teronggok mereka yang tak lagi sepaham.

Sunyi yang menyergap hanya terisi detak jarum jam yang memperkeruh suasana. Semakin keruh tatkala nada halus Jiyeon mengalun begitu saja. "Aku minta maaf, kau pasti susah karena sikapku akhir-akhir ini."

1000×; ー Kim TaehyungWhere stories live. Discover now