"You seem so unfamiliar, though we've met every day."
–Unfamilar by Lee Hangyul and Nam Dohyon.
[Setting: Setelah bagian Ending, sebelum Epilog]
Hana tidak lagi banyak bicara seperti biasa.
Sebagian waktunya dihabiskan untuk membaca buku, mendengarkan lagu, dan bereksperimen di dapur mempelajari berbagai macam resep masakan baru. Sesekali, ketika pulang dari kantor, aku melihat dia duduk di kursi dekat balkon–menatap senja sembari mengusap perut dan mengajak bicara bayi di dalamnya yang ia panggil 'adek'.
Hana tidak menghindar, tetapi memberi jarak tak kasat mata yang bisa dibilang cukup lebar hingga aku merasa sedikit canggung. Hana menjawab jika ditanya, menawarkan makan jika sudah waktunya, dan tak menolak ketika lenganku dengan sengaja melingkar di perutnya sebelum tidur. Atau memeluknya. Atau menciumnya.
Tapi, aku tidak bodoh–juga tidak buta.
Aku bisa melihat dengan jelas tatapan matanya yang sarat akan kekecewaan, nada bicaranya masih sarat keraguan, dan tidak jarang aku menyadari bahwa tangannya gemetaran. Seolah berada di dekatku adalah ancaman besar yang begitu membahayakan. Tidak apa berada di dekatku, tapi, menjauh seolah lebih baik.
Dan aku sedikit banyak merasa sakit.
"Soonyoung," panggil Hana pelan. Ia baru saja meletakkan cangkir berisi teh kamomil di atas meja dengan tangan gemetar–seperti yang kubilang tadi. "Besok ... masuk?"
Aku mengangguk. Mataku terpaku pada jari-jarinya yang kini bertaut di depan–pertanda gelisah. Meski mati-matian coba dikubur dengan seulas senyum tipis di sudut bibirnya yang kulihat pada detik berikutnya, aku seribu persen yakin ada sesuatu yang mengganggu isi kepalanya.
"Kamu mau ngomong apa?" tanyaku berusaha terdengar pelan dan tenang meski faktanya tidak begitu. Jantungku berdebar, takut yang keluar dari mulutnya adalah ajakan berpisah, izin pergi dari rumah, dan semacamnya. "Duduk dulu, kamu apa enggak capek berdiri terus dari aku pulang tadi?"
Aku bangkit, menarik kursi makan paling dekat dan mempersilakan Hana duduk–di depanku. Supaya aku bisa memandangnya, supaya aku bisa mengawasinya, supaya aku bisa memastikan dia baik-baik saja dan menahan hal-hal buruk keluar dari bibirnya. Egois, memang. Tapi aku tidak ingin menyesal lebih jauh lagi. Tuhan (dan Hana) sudah memberiku kesempatan untuk memperbaiki segalanya dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya.
Bagaimanapun caranya, berapa pun waktu yang dibutuhkan, aku akan mendapatkan kembali Hana-ku. Bukan hanya fisiknya, tapi juga perhatiannya, sayangnya, cintanya.
"Bulan kemarin, dokter Hwang tanya apa ayahnya adek bisa ikut ... ke sana," ujar Hana. "Karena adek udah mau lahir, sih. Tapi kalau kamu enggak bisa juga enggak masalah aku bisa sama–"
"Aku bisa," potongku cepat. Tidak ingin membuang kesempatan melihat calon anakku–tentu saja. Selama ini Hana sengaja merahasiakan jadwal kontrolnya dariku dan berangkat sendiri, atau dengan Minkyung, atau dengan Lalisa. Aku sebenarnya tahu, sih, karena tidak sengaja melihat ponselnya suatu hari. Tapi Hana memilih untuk diam pasti bukan tanpa alasan. Aku tidak ingin mendobrak garis batas yang ia ciptakan tanpa izin. "Besok jam berapa?"
"Kamu tadi bilang ... besok masuk."
"Bisa diatur ulang," Aku mengulas senyum, mengulurkan tangan untuk meraih tangannya di bawah meja–membawanya ke atas dan menggenggamnya erat. "Besok sama aku, ya, Sayang?"
"Makasih, Soonyoung," Hana berujar pelan. Senyum tipis yang tadi sempat menghilang kini kembali muncul diikuti semburat merah menggemaskan. Wah, anakku pasti perempuan, pikirku cepat. Katanya, kalau ibunya terlihat semakin cantik saat mengandung itu berarti anaknya perempuan. Hell, aku bahkan belum tahu jenis kelaminnya sampai hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN Imagine Snippets
FanfictionPotongan cerita dari SEVENTEEN Imagine 1.0 dan 2.0 Universe.