Workaholic: About Saga and Alessa, A Long Short Story

1.3K 91 32
                                    

About Saga and Alessa: A Long Short Story

Written by @chorimnoona (nokaav) and commissioned by Dita.

SAGA

Kalau orangtuamu bilang "jangan" ya jangan. Kalau orangtuamu bilang "boleh" ya boleh. Omongan yang bilang kalau orangtua selalu tahu apa yang terbaik buat anaknya itu lebih sering benar daripada salahnya—sekitar tujuh dibanding tiga, lah. Kalau kamu masih mau ngeyel, sini biar kubagi pengalamanku tentang akibat menjadi anak ngeyelan yang lagi kena batunya.

Papi adalah seorang direktur koreografi di sebuah perusahaan hiburan ternama—salah satu yang paling besar di negara ini. Meskipun bekerja di belakang layar, hampir seantero negeri mengenalnya sebagai salah satu yang terbaik—ya, selain skandalnya dengan salah satu idol yang menghebohkan itu, sih. Banyak trofi penghargaan yang berjajar di ruang tamu rumah kami; yang sengaja dipasang di sana dengan tujuan flexing (Papi mengakui dengan mulutnya sendiri, oke, jadi jangan bilang aku anak durhaka karena mengatainya).

Sementara itu, Mami adalah seorang full-time housewife. Ibu rumah tangga yang mendedikasikan hidupnya untuk mengomel sepanjang hari di rumah mulai dari, "Saga, kenapa belum bangun, sih?" sampai—yang belakangan ini paling sering kudengar—"Saga, anterin adeknya ke minimarket depan! Nanti kalau sendirian bisa diculik!". Tadinya, dia adalah seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini, tapi memutuskan untuk berhenti setelah menikah dengan Papi. Ya, menurutku juga lebih baik, sih, soalnya mengurus satu Papi jelas jauh lebih rumit daripada mengurus satu kelas berisi 20 balita.

Jadi, di mana masalahnya?

Di sini.

Papi adalah seorang koreografer—dan Mami adalah seorang mantan guru PAUD. Tapi, kenapa aku dua tahun lalu malah bersikeras untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi nomor satu di negara ini? Kenapa juga panitia seleksi itu semuanya memutuskan untuk menerimaku? Menyisipkan emot menangis histeris menghadapi kenyataan pahit. Kenapa juga aku repot-repot membuat file presentasi menggunakan Microsoft Power Point...

Padahal, kalau aku menurut waktu Papi bilang, "jangan", mungkin sekarang ini aku sibuk leha-leha di salah satu sudut kantin; meladeni belasan—atau puluhan—cewek cantik yang mengantre untuk mendapatkan nomor ponsel dan ID Lineku. Aku mungkin sedang sibuk pacaran, berpelukan, berciuman—atau mungkin tidur bersama salah seorang mahasiswi jurusan teater yang menyisipkan nomor ponselnya di bawah buku catatanku tiga hari lalu.

Yang terakhir bercanda.

Aku bukan cuma ditendang dari rumah tapi bisa langsung dipenggal kepalanya kalau berani mewarisi sifat Papi yang satu itu.

Nyatanya ... sebentar, aku harus menyibakkan rambutku dulu biar keren ... sekarang aku terjebak di salah satu sudut UPT Perpustakaan—menatap layar laptop mahal yang sudah dua jam belakangan bekerja keras menunjukkan kepadaku beberapa jurnal penting untuk bahan ujian. Dan ... aku mengantuk ... parah.

Tidur sebentar nggak masalah ya? Lagipula, Jeon Yejune—si ganteng pendiam anaknya om Wonwoo itu masih ada kelas sampai kurang lebih satu jam lagi. Kami punya janji untuk makan bareng di Exchange Fine Dining—salah satu cabang restauran milik sahabat Papi yang lainnya—sekaligus bertemu dengan Mas Kenji, Alec, Juan, dan Jinwoo.

_____

ALESSA

Sebenarnya, sudah hampir tiga puluh menit aku membuang waktu untuk mengamati sosok laki-laki yang tengah tertidur lelap di seberang meja. Rambutnya yang sedikit panjang di bagian depan itu basah—mungkin efek dahinya yang berkeringat karena kebetulan pengunjung perpustakaan hari ini super ramai dan air conditioner-nya nggak berasa. Hidungnya mancung—super mancung, dan bentuk bibirnya bagus; tebal dan penuh.

SEVENTEEN Imagine SnippetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang