11th Story ; Stigma

31 5 0
                                    

"Aku lelah." Gadis itu berucap pelan.

"Aku lelah terus berpura-pura semuanya baik-baik saja." Dia menarik nafas dalam dan tersenyum getir.

"Aku lemah, ya?" Kali ini matanya berkaca-kaca. Tak lama dia pun mulai terisak, pelan tanpa suara.

Aku menatapnya dalam diam. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin menenangkannya, memeluknya dan menepuk pelan punggungnya. Sambil berkata "Kamu tidak lemah. Kamu sudah bertahan sampai sejauh ini. Kamu hanya butuh sedikit istirahat."

Aku pun hanya dapat tersenyum getir. Kemudian aku sadari, gadisku sudah berhenti menangis. Kini dia sudah mulai terlelap. Terlelap dengan sebuah foto dalam genggamannya. Aku menatap foto itu dan tersenyum sedih. Potret sepasang kekasih. Aku sangat mengenalinya, karena itu adalah potretku dan dirinya. Ya, dia adalah gadisku.

*****

Azura terbangun dengan pening di kepalanya. Dia meringis pelan dan mencoba bangun dari kasur. Saat dia sudah duduk di pinggir kasur, sebuah foto jatuh tepat di dekat kakinya. Gadis berambut cokelat sebahu itu meraih foto tersebut. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya. Sangat kontras dengan mata bulatnya yang memancarkan kesedihan.

"Azka..." Ucapnya lirih. Perlahan air mata mulai menetes di pipinya. Dengan cepat gadis itu mengusapnya. Dia sudah cukup menangis semalamam. Begitu pikir Azura.

"Aku rindu kamu, Ka. Bolehkah aku menyusulmu ke sana. Bukankah di surga semuanya sangat jauh lebih baik?" Azura terdiam, menatap potret seorang laki-laki dengan senyum cerah dan mata yang berbinar jahil.

Laki-laki itu adalah Azka. Bukan seorang kekasih atau sebatas sahabat. Laki-laki itu adalah hidupnya, tempat dia bersandar, dan kekuatannya untuk tetap bernafas di dunia ini. data-Kini cahaya kehidupan Azura itu sudah pergi. Pergi meninggalkannya dan dunia yang tidak ramah ini. Hati Azura hancur. Bukan, hidupnya hancur, terhenti bersamaan saat Azka meninggalkannya.

Dia pun beranjak dari kasurnya, mendekati meja rias kecil di sudut kamarnya. Azura menarik pelan laci terakhir meja rias itu. Dia merogoh semua benda yang ada di sana dan terhenti saat mendapati sebuah cutter berwarna hitam. Perlahan dibukanya benda tajam itu dan menatapnya datar. Azura telah hilang akal. Dia menarik lengan baju yang menutupi lengan kirinya hingga sebatas siku. Masih tanpa ekspresi dan mata yang kosong, Azura pun mulai menyayat pergelangan tangannya.

Satu sayatan...

Dua sayatan...

Tiga sayatan...

Empat...

Lima...

Terus berulang hingga perlahan darah segar mengucur dari lengannya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan rasa perih yang mulai timbul. Namun dia tidak berhenti, dia terus menerus menyayat lengannya hingga tidak tersisa permukaan kulit yang polos.

"Kenapa.." Azura berujar lirih.

"Kenapa aku tidak mati? aku ingin bersama Azka! aku tidak ingin sendirian di sini! dunia ini jahat, semua orang jahat! aku hanya ingin Azka! Aku ingin menyusul Azka, CUMA AZKA!!! ARGHH!!!"

*****

Mataku menatap Azura sedih. Bahkan dalam tidurnya dia masih memikirkanku. Berulang kali dia menggumamkan namaku sambil terisak pelan. Hatiku benar-benar sakit, dan aku merasa bersalah. Hingga tanpa sadar aku pun menangis dalam diam, hingga pagi menjelang.

Cahaya matahari perlahan menyeruak masuk pada celah jendela kamar Azura. Gadis itu mengernyit pelan dalam tidurnya. Dia membuka matanya dan mengerjap pelan. Dia meringis dan memijit kepalanya pelan. Sepertinya menangis semalaman membuat kepalanya pening. Dia pun perlahan bangun dan duduk di tepi kasur.

Tales of Atma HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang