14th Story ; EGO

34 5 0
                                    

2 garis, positif.

Keana menatap beda ditangannya dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan bahagia yang membuncah, namun rasa takut dan ragu lebih mendominasi. Fikirannya melayang, membayangkan bahwa sebentar lagi ia resmi menjadi seorang ibu dengan 2 anak. Seharusnya ini adalah berita besar yang penuh dengan kebahagiaan karena sebentar lagi rumah ini akan kembali dipenuhi dengan tangisan bayi.

Namun ia takut, takut dengan semua kemungkinan terburuk yang mungkin saja ternjadi pada keluarganya. Dan jika kemungkinan buruk tersebut benar-benar terjadi, apa yang harus Keana lakukan untuk bayi ini? Pasalnya bayi ini datang di waktu yang tidak tepat. Di saat rumah tangganya sedang diambang kehancuran. Dan Keana pun tidak yakin bisa menyelamatkan keluarganya dari kehancuran atau ikut hancur bersama.

Lalu, dalam konsisi seperti ini apa suaminya akan menerima anak ini dengan suka cita? Atau sebaliknya? Sebagai seorang ibu, tekad Keana sudah bulat. Ia akan mempertahankan anak ini. Apapun yang terjadi.

TOK...TOK...TOK

"Keana."

Keana tersentak kaget ketika mendengar pintu kamar mandi yang diketuk disusul suara yang memanngilnya. Ia membuang test pack bergaris dua itu kedalam tempat sampah dikamar mandi, lalu menutupinya dengan beberapa helai tisu, berharap tidak ada siapapun yang menemukan test pack itu. Keana mengatur ekspresi wajahnya sebelum keluar kamar mandi. Ia membuka pintu dengan perlahan. Netranya bertubrukan dengan manik mata Althafandra, suaminya yang juga sedang menatapnya khawatir. Masih dengan pakaian kerja yang membalut tubuhnya.

Keana hanya tersenyum kikuk.

"Eh, Althaf. Udah pulang?"

Althaf mengangguk pelan, lalu bergeser dari depan pintu kamar mandi, memberi jalan bagi Keana. Matanya memperhatikan keana yang menutup pintu kamar madi dengan cepat lalu berjalan denga kepala yang tertunduk.

'Aneh,' batin Althaf.

"Althaf."

"Keana."

Baik Althaf maupun keana sama-sama berdehem pelan, berusaha menghapuskan kecanggungan diantara mereka yang semakin terasa semakin menjadi. Ini aneh, seharusnya Althaf memeluk Keana saat ini, mengatakan betapa ia merindukan Keana-nya setelah perjalanan bisnis Althaf selama sebulan ini.

Perjalanan bisnis? Mungkin.

"Ladies first"

Althaf menyunggingkan senyumnya yang lagi-lagi dibalas keana dengan senyum kaku. Entah hanya perasaan Althaf saja, atau memang ada yang berbeda dengan Keana.

"Sini jas kamu. Mau aku cuci sekalian," pinta Keana seraya mengadahkan tangan kanannya pada Althaf, meminta Althaf untuk segera menyerahkan jas nya agar ia menjauh dari Althaf walau hanya sebentar.

Alih-alih menyerahkan jasnya, Althaf menarik Keana kedalam pelukannya. Ia memejamkan mata, menghirup aroma vanilla dari tubuh Keana. Aroma favoritnya. Althaf semakin mengeratkan pelukannya ketika berbagai kemungkinan buruk muncul begitu saja dibenaknya. Sungguh ia tidak ingin kehilangan Keana-nya. Tidak untuk saat ini, esok, dan selamanya.

Keana merasakan tubuhnya kaku, tidak sanggup bahkan untuk sekedar membalas pelukan Althaf. Padahal jauh dilubuk hatinya, ia sangat merindukan suaminya. Namun entah kenapa, untuk saat ini hati dan fikirannya sedang tidak sejalan. Hatinya ingin membalas pelukan Althaf dan mengatakan bahwa saat ini Keana tengah mengandung buah hati kedua mereka. Namun, fikiran dan egonya menyuruh keana untuk tetap diam. Diam seperti saat ini.

"Aku minta jas kamu, Althaf. Bukan pelukan."

Namun Althaf malah semakin mengeratkan pelukannya. Mencurahkan semua kerinduannya, dan juga perasaan takut kehilangan yang entah mengapa terasa dekat. Seolah jika Althaf melepaskan pelukan ini, Keana juga akan pergi meninggalkannya.

Tales of Atma HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang