bagian 3| dia, reza irvan wijaya milik biru

425 40 0
                                    

sebulan sudah aku kembali menjalani kehidupan lalu. melakukan segala cara untuk memperbaiki masa lalu yang menjadi penyesalan. hari-hari di sekolah sangat menyenangkan, aku tidak lagi berangkat sekolah di antar ibuku, tapi berjalan kaki bersama teman. mereka selalu bercerita banyak hal ketika dijalan dan aku akan selalu mencoba yang terbaik untuk menjadi antusias.

setiap memasuki kelas, aku akan berlari kearah meja reza, sekadar untuk mengucapkan selamat pagi, dan bercerita atau memamerkan hasil gambar semalam yang aku buat dengan susah payah.

"reza, lihat kemarin aku gambar naruto bagus, gak? jelas, bagus dong." aku berteriak dengan antusias, hingga roni yang berjalan di belakang menepuk bahuku pelan. "reza belum budeg gak usah teriak." aku mengabaikannya, membiarkan dia duduk dibangkunya dengan tenang. roni hendriawan, king of savage, anak laki-laki paling pemalu yang pernah aku temui.

aku meletakan buku gambar di depan reza dan mulai mengoceh dengan semangat. "naruto uzumaki, kartun kesukaan reza, aku buat dengan bagus terus diarsir soalnya aku gak punya pewarna. aku gambar dari abis tujuh sampai jam 10-an malam loh, padahal mata aku udah kaya ada lemnya gitu. tapi karena reza suka jadi bi selesaiin dengan sepenuh hati." aku duduk di kursi yang berada di depan meja reza, menopang dagu dengan kedua tangan, dan bercerita dengan suara pelan, takut yang lain mendengar dan akan nyengcengin.

senyum manis tercipta dibibirnya, tangannya terangkat, menepuk kepalaku lembut beberapa kali. "kerja bagus." aku ingin memeluknya sekarang, apa boleh? dia sangat manis dan tampan. tuhan, apa dia jodohku? jika ia, aku sangat berterima kasih padamu, dan kalau bukan, tolong buat dia jadi jodohku.

jadi selama pelajaran membaca aku terus tersenyum konyol, mengabaikan orang lain hanya fokus pada satu entitas. jam 8.15 kelas satu diperbolehkan istirahat. sebenarnya aku tidak lapar, lagi pula keluar kelas bukan sesuatu yang aku inginkan. lebih baik waktu istirahat aku gunakan untuk tidur. widi dan putri mencoba menarik kedua tanganku.

"ayo jajan, lalu main jungkat-jungkit, dan ayunan." aku mengerang frustasi saat mereka berhasil menarikku. "aku hanya ingin tidur."

"makan lebih penting," timpal putri dengan pipi cabi yang tidak bisa dikondisikan.

aku hanya membeli gorengan seharga seribu dan dapat tiga. uang jajanku hanya 1.500, sisanya aku tabung untuk membelikan sesuatu yang berharga.

aku berlari meninggalkan mereka, berjalan dengan cepat kearah ayunan terbuat dari ban yang berada di bawah pohon. ayunan bergerak pelan, ini sangat menyenangkan dan damai. salah satu anak berjalan menghampiriku dengan tergesa. "awas!" dia memegang tali ayunan. "lepas. apa sih may, aku kan lagi main."

maya mencubit tanganku dengan keras. "aku bilang awas." dia sangat galak dan mudah cemburu, mengenalnya lama membuatku malas berurusan dengannya.

aku berjalan menuju kelas dengan tergesa, sesekali akan mengusap bekas cubitan yang menyisakan warna kemerahan. tidak ada siapa pun di dalam kelas, ini lebih baik. aku meletakan kepala di meja. uh, kesal sekali, untung anak kecil. coba saja bukan, sudah aku balas lebih kejam.

aku masih enggan membuka mata saat merasakan seseorang duduk dikursi putri. mengelus kepalaku pelan. "jangan tidur." aku membuka mata dengan enggan.

"masih sakit?" aku memperlihatkan bekas cubitan maya yang mulai memudar. "gak terlalu."

dia tersenyum kecil, ikut meletakan kepalanya di meja. "hei katanya gak boleh tidur."

"aku hanya meletakan kepala dimeja, ah, rasa tenang dan ngantuk." aku memukul bahunya pelan. "jangan tidur."

"dew—" aku memotongnya dengan cepat. "biru."


***
[21 Mei 2020]

Karena mereka tidak mengenalku, tidak masalah jika aku menceritakan penyesalanku?

Biru

kelahiran kembali: ketika semesta mengizinkan mengulang kehidupan (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang