Tukang Delivery Manusia

3 1 0
                                    


Hari sudah gelap saat Agnes berjalan ke parkiran. Tidak ada yang tahu bahwa saat ini badannya menggigil hebat. Giginya bergemeletukkan dahsyat. Ini sudah biasa terjadi pada Agnes. Jika ia sudah marah dan tidak dilampiaskan, badannya pun serasa pegal-pegal. Jadi, ia harus buru-buru pulang sebelum berujung menangis seperti orang gila lagi di kampus untuk kedua kalinya hari ini.

Ia mati-matian membendung airmatanya agar tidak berderai. Perkataan Renata benar-benar menyakitinya. Ia tahu kalau berharap dengan cowok seperti Ojak itu mustahil baginya. Tapi perasaan ini bukan semata kesalahannya yang terlalu bawa perasaan, atau istilah kerennya tu, baper.

Perlakuan manis Ojak-lah yang membuatnya salah mengartikan. Ia mengira kalau Ojak memperlakukannya lebih spesial dari yang lain karena dia menganggapnya sebagai seorang cewek seutuhnya. Namun malang bagi Agnes, Ojak tidak menganggapnya sebagai seorang cewek. Melainkan hanya menganggapnya adik, karena mirip dengan salah satu adik perempuannya.

Agnes melewati beberapa petugas keamanan kampus yang hanya melongo menyaksikan tampang kacaunya. Ia menyeberangi pelataran parkir yang serasa tak berujung, berjalan di antara deretan motor yang kebanyakan butut-butut. Lalu, seseorang menyambar tangannya. Agnes sudah siap untuk menepis tangan yang menahan, tapi gerakan tangannya terhenti saat melihat tampang masam Ojak yang kini terlihat aneh sekali.

"Siapa yang berani bikin lo nangis selain gue?"

Oke, sekarang Agnes yang kaget. Pertama-tama, ia baru sadar bahwa dirinya sekarang sudah menangis. Kedua, si Ojak kedengarannya seperti marah sekali. Agnes sampai yakin, kalau sampai ia menyebut alasannya menangis, Ojak pasti bakalan langsung merasa bersalah dan mendatangi Renata. Mungkin juga, Ojak lebih sayang kepadanya−meski hanya sebagai saudara−dan langsung memutuskan hubungannya dengan Renata karena menyakiti seseorang yang dia anggap adik.

Meskipun kedengarannya halu dan egois, tapi keyakinan itu langsung membuat perasaan Agnes jadi nyaman.

Dihapusnya air mata dengan punggung tangan, lalu berkata dengan nada sengak yang terdengar normal di telinganya, "Bukan siapa, tapi harusnya lo tanya, kenapa?"

"Oke." Pandangan Ojak melunak, demikian juga cekalannya di tangan Agnes. Agnes melirik tangan Ojak yang masih juga memeganginya dengan gaya sangat mencolok, tapi dia tetap tidak melepaskan. "Kenapa lo nangis?"

"Akan gue ceritain, kalau lo bawa gue pergi dari sini."

"Memangnya lo mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan tetap melekat.

Buset, baru juga patah hati, sekarang ketemu orangnya langsung ia jadi deg-degan.

"Ke mana aja asal jauh dari tempat ini." Agnes diam sejenak, lalu menambahkan, "Dan juga jauh dari rumah gue ataupun lo."

Ojak mengangguk. "Oke. Ayo, kita jalan."

Secepat kilat, motor si Ojak meluncur ke luar dari kampus. Agnes sebenarnya heran, sejak kapan Ojak punya motor, ya? Tapi, ah, sekarang itu tidaklah penting. Mungkin dia pinjam motor Pal atau Indra.

"Motor ini gue pinjam sama Pal," kata Ojak tiba-tiba. "Sekarang gue punya profesi baru."

Agnes kaget. "Lo bisa baca pikiran?" tanyanya.

Ojak terkekeh. "Ekspresi lo jelas penasaran banget sama motor ini. Nes, mana mungkin gue mampu beli motor semahal ini?"

"Oh, iya, ya." Lalu keduanya tertawa. "Apa profesi barunya?"

"Tukang delivery manusia."

"Eh, maksudnya tukang ojek gitu?"

"Mirip, sih," kata Ojak. Senyum belum pudar dari bibirnya. Rasa bersalah yang membelenggunya sejak kejadian di café rooftop kemarin perlahan terangkat. "Cuma bedanya ... gue cuma take orderan buat satu orang aja."

OJAK (IN) LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang