Dua Debaran

7.5K 770 61
                                    

Luruh, air mata itu membasahi pipi Zahra yang mulus. Mengapa kali ini rasa ikhlas begitu sulit hinggap di hati? Begitu pikirnya.

Bibir mungilnya tak henti bergerak, mengucap dzikir, berharap ketenangan merasuk pada jiwa. Matanya terbuka sekarang, membiarkan genangan air terus jatuh.

Baru kali ini ia merasakan pedih teramat karena seorang makhluk. Benar, segala yang berlebihan itu banyak mudharatnya, bukan bertabur manfaat. Apa lagi perihal berharap dan mencintai manusia, jelas sakit hati akan melanda.

Dari dulu, Zahra selalu fokus terhadap dirinya, terhadap cinta pada Sang Kuasa. Nama Razi sudah dikenal lama, namun ia tak sadar, justru perkenalan itulah yang menumbuhkan benih-benih rasa di hatinya.

Dari bangku SLTP, mereka sudah satu kelas. Akrab, karena keduanya sama-sama memiliki kecerdasan serupa, sering menjadi andalan para guru, juga menjadi kepercayaan yang lainnya.

Bahkan, ketika sudah menginjak masa SLTA, tepatnya di Madrasah Aliyah Sinar Jaya, kembali mereka disatukan dengan jurusan sama. Pertemuan tak pernah bisa dihindari lagi, bukan? Semakin dewasa, semakin mengerti kalau ada sesuatu yang harus diselesaikan di antara mereka.

Tak ada sebuah ikatan seperti anak muda lainnya, walau mereka sama-sama peka. Baik Razi mau pun Zahra, keduanya hanya saling melantunkan doa, mengutarakan cinta pada Sang Pemilik, menggantungkan harapan, membina keyakinan akan bersama pada waktu yang sudah ditentukan.

Lantas, keheningan mereka dalam saling mencinta, tak urung membuat sekeliling buta. Kawan, kakak dan adik kelas, sampai guru-guru pun sudah tahu. Mendukung mereka menjadi pasangan serasi di masa depan. Yang paling terobsesi dengan kisah cinta suci mereka adalah adik kelas juga teman seangkatannya.

"Razi dan Zahra sama-sama cocok. Tampan juga cantik, cerdas, alim."

"Di masa depan, aku ingin seperti Razi dan Zahra. Saling mencintai walau tak pernah mengungkapkan. Seolah tak terjadi apa-apa, tapi para manusia selalu ikut mendoakan."

Ah ... rupanya, mendapat restu makhluk di muka bumi, belum tentu memiliki izin dari Sang Pencipta. Sekeras apa pun mereka berusaha, jika Allah tak suka, perpisahan lah pemenangnya.

Zahra terpejam lagi, mempercepat gerakan ibu jari untuk memindahkan bulatan-bulatan tasbih.

"Zahra ...." Disembunyikannya air mata itu dengan usapan jemari segera. Menoleh, memberi senyuman, seolah tak terjadi apa-apa pada hati rapuhnya.

"Lagi salat rupanya. Ummi kira sudah tidur. Kamu belum makan malam, Nak." Umminya ikut duduk, membelai si semata wayang dengan kasih tiada ujung.

"Sudah selesai kok, Ummi." Wanita di hadapannya bergeming, menghapus jejak air mata sang putri dengan lembut. Naluri seorang ibu memang tak pernah bisa dibohongi.

"Sudah baikan?" tanyanya sembari memindahkan tangan pada anggota dimana letak hati berada. Zahra tersenyum getir, menahan tangis walau ia kembali kalah.

Tak menjawab, Zahra merebahkan kepala di atas kedua kaki sang ibunda. Ia tumpahkan segala nyeri di sana, tak mampu lagi berdusta jika kalbunya memang tersayat luka.

Seolah mengerti, wanita dengan pembawaan anggun itu hening, membiarkan sang putri memuntahkan segala kecewa. Matanya ikut basah, siapa yang tega melihat sang buah hati merana?

"Maafkan Zahra, Ummi. Zahra belum bisa ...."

"Tidak apa, Sayang. Ini hanya sebuah proses, jangan dipendam, agar tak meledak nantinya." Zahra terdiam lagi, keduanya sama-sama terisak. Walau sang ibunda memilih untuk menyembunyikannya.

"Ummi ...."

"Iya, Cantik?" Zahra bangkit, matanya sembab sekali. Wajahnya memerah, khas sekali jika ia tertawa atau mengeluarkan air mata. Warna itu akan memenuhi sebagian wajahnya, terutama pipi juga hidungnya yang tak terlalu tinggi.

Naik RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang