Terima Kasih, Razi

7.8K 993 175
                                    

Razi masih setia duduk di depan tungku dengan api menyala, lelaki itu terpaku sembari merasai kehangatan.

"Jangan seperti tadi lagi," kata Razi. Lelaki itu tampak menjulurkan kedua tangan, ingin telapaknya mendapatkan kehangatan yang lebih.

Sementara Fatma memelankan gerak tangannya yang tengah memasukkan gayung ke dalam panci seeng berisi air mendidih. Sepulang dari makam, ia memang langsung memasak air agar Razi bisa mandi dengan air hangat. Tahu jika lelaki itu tak kuat jika berhadapan dengan yang namanya dingin.

"Seperti tadi apa?" tanya Fatma tak berani menatap. Razi pun sama, matanya masih terus tertuju pada api di dalam tungku.

Hening lagi. Lelaki itu tak menjawabnya, ia masih terus mengumpulkan keberanian untuk kembali merangkai kata.

"Hujan-hujanan," katanya lagi, membuat Fatma kembali menghentikan pekerjaannya.

"Maaf sudah merepotkan." Fatma menunduk, dan kembali mengambil air mendidih dari dalam panci untuk diterjunkan pada sebuah ember.

"Tak akan ada yang merawatku jika kamu sampai sakit." Terdengar aneh memang, namun itu yang Razi katakan. Setelahnya, ia bangkit untuk bersiap mandi. Sebenarnya, Razi beranjak semata-mata untuk menutupi malu.

Setiap kali ia selesai mengungkapkan kalimat, pasti rasa itu ikut menderu.

Selepas kepergian Razi, Fatma masih mematung. Namun bibir berisinya itu tampak menyunggingkan senyum. Ada bahagia yang menyusup begitu saja ke dalam relung.

***

"Zi, ikut reuni, 'kan?" Ahmad berseru, ia ikut mengantre.

"Zi! Nempo naon (lihat apa), sih?" Dengan segera Razi membuyarkan pikiran. Lipstik di hadapannya benar-benar membuat otaknya melayang.

"Itu ... berapa?" Mecca mengernyitkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan lelaki jangkung tersebut.

"Apaan?" Razi masih kukuh menunjuk benda di belakang wanita itu dengan mata elangnya.

"Lipstik?" Razi mengangguk pelan, menahan malu.

Dengan cepat Mecca membalikkan tubuh, mengambil benda yang di maksud Razi di belakangnya. Setelah harganya dideteksi oleh barcode scanner, Mecca berkata akan membayar lipstik tersebut. Namun, lelaki jangkung itu menolak.

"Ini buat Teh Fatma, 'kan? Aku ngefans banget sama Teh Fatma. Please, aku yang bayar ya, Zi?" Tak ingin berdiri lebih lama, apa lagi di belakangnya Ahmad sudah menyunggingkan senyuman menggoda.

"Lain kali saja, ya." Razi meletakkan uang dan berlalu begitu saja. Bibir tipisnya tampak melengkung sebelum ia memasukkan benda tersebut ke dalam saku jaket.

Tanpa menunggu waktu lama lagi ia segera memakai helm dan pergi meninggalkan area mini market.

Razi mengendorkan pacuan gas kala ia melewati gang menuju rumahnya. Bukan berbelok dan masuk, namun lelaki itu tetap mengendarai motor kesayangannya ke arah lurus. Masih ada sesuatu yang harus dipenuhi.

Kakinya menginjak rem perlahan saat matanya menangkap beberapa maneken berpakaian dress panjang untuk para muslimah di sebuah ruko. Sedikit ragu dan bingung, walau akhirnya ia masuk juga tanpa melepas helm terlebih dulu.

"Pesan apa, A'? Gamisnya buat istri? Sok ditingali heula (silakan dilihat dulu)." Baru saja ia mengayunkan langkah, pelayan toko sudah amat sigap menangkap basah.

Sialnya, toko tersebut memang khusus pakaian wanita muslimah. Jadi Razi tidak bisa memberi alasan lain untuk menutupi malu. Dari balik kaca helmnya yang sedikit gelap, matanya mencari ke sana-sini, tapi ia kurang mengerti.

Naik RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang