#Story: Keluarga Alfian pt.2

805 116 34
                                    

"It's okay, aku gak papa, Love. Maaf ... itu Teh Susan, kakakku."

Rian mengedipkan matanya beberapa kali. Rona merah mulai menjalar di wajahnya. Ia malu sekali. Seharusnya ia tidak gegabah. Bagaimana jika ia benar-benar menampar kakak dari tunangannya lalu mereka gagal menikah? Hancur sudah.

Kecupan di pipi Rian rasakan. Ia mendelik melihat sang pelaku yang malah terkekeh. Rian mendorong tubuh Fajar karena kesal, tetapi kemudian ia malah mendekat dan meraih pipi Fajar. Ia mengelus tempat di mana tadi ia menamparnya.

"Sakit ya, Mas?"

"Gak kok, gak berasa."

Rian mencibir. Ia tahu Fajar sedang berbohong, lihat saja pipinya ada bekas tamparannya itu.

Fajar meraih tangan Rian yang masih mengelus pipinya itu. Ia memberikan senyuman menenangkan pada tunangannya. Toh, bukan salah Rian sepenuhnya. Ia belum bercerita tentang kakaknya jadi Rian salah paham seperti ini.

Suara dehaman menginterupsi pasangan sejoli itu. Arahnya dari belakang Fajar. Rian menunduk malu ketika tatapan kakak Fajar itu mengarah padanya.

Lantas, Fajar berbalik, menghadap kakaknya yang sudah lama tidak ia jumpai. Ketika pandangan kakaknya beralih padanya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka bersitatap dengan jarak yang dekat.

Fajar masih membungkam mulutnya. Entah harus berbicara apa. Saking terlalu lama tidak bertemu, ia menjadi canggung.

Namun, tidak untuk Susan. Ia mengulas senyum manisnya. Membuat tulang pipinya yang tinggi terlihat. Giginya yang putih juga tampak. Sangat mirip dengan senyuman Fajar. Rian tidak heran jika saja mereka kembar yang berbeda jenis kelamin. Karena saking miripnya kontur wajah dan senyum mereka berdua.

"Dedek, apa kabar?" tanya Susan lembut.

Fajar kikuk. Ia merasa malu sudah setua ini masih dipanggil dengan sebutan itu. Ia berdeham pelan lalu kepalanya mengangguk. "Baik," balasnya singkat.

Kemudian, Fajar mempersilakan kakaknya untuk duduk di kursi yang tadi ia tempati, sedangkan ia menarik tangan Rian dan duduk di depan kakaknya. Hampir melupakan entitas Fariq dan Hanan, Fajar menoleh ke samping. Tangannya mengelus rambut Fariq dengan sayang.

"Fariq sama Hanan main bola lagi, ya? Tapi jangan jauh-jauh, di sini aja. Paham?"

Anaknya itu mengangguk lalu menarik tangan Hanan. Mereka kembali bermain bola, seolah tidak pernah melihat kejadian sebelumnya yang tidak pantas dilihat anak kecil.

Fajar mengontrol emosinya, lalu dengan berani mulai berbincang dengan kakak perempuannya itu.

"Teh Susan, apa kabar?" tanya Fajar berbasi-basi.

Susan tersenyum, lalu membalas, "baik. Mama sama Papa juga sehat. Sekarang dedek bakal punya ponakan lagi. Teteh lagi hamil 3 bulan. Ini adiknya Fadlan. Sebenarnya Fadlan hampir punya adik 2 tahun lalu, tapi meninggal di bulan ke sembilan. Tepat 2 minggu sebelum jadwal kelahirannya."

Susan bercerita masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Seolah duka yang pernah menyelimutinya itu tidak meninggalkan luka di hatinya. Fajar yang mendengarnya merasa teriris hatinya. Kakaknya itu pasti sangat terpukul saat itu. Tetap menjalani proses kelahiran, tetapi sang anak sudah tidak bernyawa lagi.

"Maaf ... turut berduka, Teh."

Susan menghela napas. "Gak papa, Fiona udah tenang di sana. Teteh udah relain dia, sekarang lagi mencoba menjaga adiknya lebih hati-hati. Jangan sampai terjadi lagi," katanya sambil mengelus perutnya yang belum terlihat buncit.

"Udah lama, ya, Dek? 6 atau 7 tahun? Kenapa gak pernah pulang?" tanya Susan dengan suara yang mulai bergetar.

Fajar yang tadi sedang menunduk, menatap meja, kini mendongak menatap wajah sendu kakaknya. Tenggorokannya terasa pahit. Ia tak sanggup berucap.

You've Got Mail! [F/R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang