Who Do You Love?

491 59 18
                                    

Hyunjin memposisikan dirinya di samping Jeongin yang terfokus pada televisi di hadapannya. Ada sesuatu tentang Jeongin yang mengganggu pikirannya, dan Hyunjin merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Jeongin, jujur sama Kakak. Sekarang, bukan cuma Kakak dalam hati kamu, kan?" yang lebih tua mengungkapkan hal yang sejak lama berkecamuk dalam benaknya. Sedikit ragu sebenarnya, tapi apa boleh buat? Ini demi hubungannya dan Jeongin.

"Kakak gila? Kok ngomongnya gitu, sih?" sentak Jeongin setelah mendengar kalimat yang dilontarkan Hyunjin.

"Jujur, Jeongin. Kakak tau selama ini kamu bukan tidur di tempat Seungmin atau Felix, kamu selalu tidur sama dia." Hyunjin tetap pada pendiriannya. Ia yakin ada yang berbeda dari Jeongin selama beberapa minggu terakhir.

"Nggak, Kakak khawatir berlebihan aja. Kakak harus percaya sama aku, aku cuma sayang Kakak." Jeongin mengelak.

"Kalau soal rokok di mobil? Kita berdua bukan perokok, Kakak juga tau temen-temenmu gak ada yang ngerokok. Dan itu gak ada sebelum kamu pake mobil buat jalan sama temenmu." Jeongin mulai tampak tak nyaman, pupil matanya bergerak seakan gelisah tanpa menatap sang suami yang sedang berbicara.

"Kalo emang bener dugaan Kakak, biar kakak yang pergi. Tapi tolong jujur, Jeong. Kakak cuma mau kamu jujur." bisa dibilang, Hyunjin sudah pasrah—menyerahkan segalanya pada keadaan. Ia hanya meminta Jeongin jujur padanya, itu saja.

"A– apaan sih, Kak? Jujur tentang apa? Kakak nggak jelas, aku tidur duluan aja." Jeongin melengos ke kamar mereka begitu saja, meninggalkan Hyunjin terduduk sendiri di depan televisi.

"Jeongin, kita belum selesai bicara."

"Aku ngantuk."

Hyunjin menghela napasnya kasar. Dugaannya tentang orang ketiga bukan tanpa alasan—perubahan sikap Jeongin salah satunya. Rasanya ia mengenal betul suaminya, dan sikap Jeongin akhir-akhir ini berbeda dari biasanya.

Apakah seseorang dengan inisial 'R' sebagai nama kontaknya yang tersimpan pada ponsel Jeongin adalah penyebab dari semua ini? Hyunjin tak ingin berburuk sangka, tetapi ia tahu pasti itu bukan nama kontaknya. Sebab ketika ponsel Jeongin berdering menerima panggilan itu, ponsel miliknya sama sekali tidak tersentuh dalam sakunya.

Sejak saat itu, Jeongin tidak pernah membiarkan Hyunjin menyentuh—bahkan mendekati—ponselnya, juga selalu mengganti kata kuncinya secara berkala.

Hyunjin memijat pelipisnya pelan, kepalanya sakit memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Katakanlah Hyunjin berpikir terlalu jauh, ia hanya benar-benar takut semuanya akan berakhir.

Hyunjin memutuskan menyusul Jeongin ke dalam kamar, tanpa sepatah kata berbaring membelakangi punggung suaminya di ranjang. Hari ini sudah cukup melelahkan bagi Hyunjin. Perlahan Hyunjin mencoba terpejam, berusaha beristirahat barang sejenak dari beban pikiran yang terus melintasi benaknya.

***

"Jeongin, Kakak berangkat, ya." pamit Hyunjin. Dipanggilnya Jeongin kembali ketika tak ada respon dari sang suami, "Jeongin?"

"Berangkat aja, aku lagi mandi!" suara Jeongin bergema dari dalam kamar mandi.

"Ya udah. Hati-hati di rumah, Jeong. Hari ini Kakak usahain pulang cepet." Hyunjin bergegas menuju mobilnya. Hari masih pagi, tetapi pikiran buruk telah menghampiri Hyunjin.

Lagi-lagi, Hyunjin menyadari perubahan sikap Jeongin. Jeongin hanya menyiapkan sarapan seadanya bagi Hyunjin, Jeongin tak lagi sekadar merapikan dasi Hyunjin, Jeongin juga menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Jeonginnya seakan bukan Jeongin yang dulu ia kenal; Hyunjin seakan telah kehilangan Jeonginnya.

Mengusap wajahnya kasar, Hyunjin melajukan mobilnya. Hyunjin memaksakan diri untuk bekerja, meskipun tahu ia tak akan bisa fokus bekerja dengan keadaan pikiran seperti ini.

***

Sengaja Hyunjin izin pulang lebih cepat hari ini. Hyunjin ingin membeli sekotak kue stroberi sebagai hadiah kecil darinya bagi Jeongin, maka ia menyempatkan diri untuk mampir sejenak ke sebuah toko kue yang kebetulan terletak satu arah dengan perjalanan pulangnya.

"Sore, Kak. Mau pesan apa?" sapa seorang pelayan dengan senyum ramah dari balik counter.

"Kue stroberi satu, Mbak." jawab Hyunjin.

"Itu saja, Kak? Ada tambahan lain?" Hyunjin menggeleng. Pelayan itu segera menyiapkan satu kotak kue, mengikatnya dengan pita, lalu memberikannya kepada Hyunjin, "Totalnya jadi 90 ribu rupiah ya, Kak."

Setelah menyelesaikan pembayaran, Hyunjin kembali ke dalam mobilnya. Hyunjin berharap sekotak kue di tangannya diterima Jeongin dengan senang hati. Mungkin permintaannya terlalu mustahil, tetapi Hyunjin benar-benar berharap kue itu dapat mengembalikan hubungannya dengan Jeongin seperti semula.

***

Dengan kotak kue di tangannya, Hyunjin berjalan perlahan menuju pintu rumahnya. Tarikan napas panjang ia ambil sebelum mengetuk pintu. Entah mengapa, Hyunjin sedikit ragu Jeongin akan menyambutnya dengan bahagia.

"Jeongin, Kakak udah pulang. Happy anniv—"

Kue stroberi di tangannya seketika meluncur jatuh, tergeletak mengenaskan di lantai dingin rumah mereka. Pemandangan di hadapannya benar-benar sulit Hyunjin percaya. Hyunjin seolah terpaku pada tempatnya berdiri, tenggorokannya tercekat, ia bahkan tak dapat menyelesaikan kalimatnya.

Ketakutan terbesarnya kini terbukti, Hyunjin mendapati sang suami mengkhianatinya tepat pada hari jadi pernikahan mereka; Jeongin bercumbu dengan lelaki lain di hadapannya. Rasanya sakit. Hyunjin tak ingin menangis, sekuat mungkin ia berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Lelaki itukah pemilik nama kontak 'R' pada ponsel Jeongin?

Dua orang di hadapannya seketika menghentikan kegiatan mereka ketika mendengar suara Hyunjin, "Kak, ng– nggak gitu. D– dia cuma temen aku. Kita bukan—" Jeongin berusaha menjelaskan sebelum Hyunjin membuka suara.

"O– oh, maaf. Saya ganggu kalian, ya? Saya bentar lagi pergi, kok. Sebelumnya saya minta maaf, Jeong. Mungkin saya nggak cukup di mata kamu sampai kamu tinggalin saya. Gak apa-apa, saya ngerti. Lalu buat kamu, Jeongin udah pilih kamu daripada saya. Jadi, jaga Jeongin baik-baik, ya. Jangan buat dia kecewa. Saya pergi sekarang. Makasih banyak untuk tiga tahunnya, Jeongin. Semoga kalian bahagia."

"Kakak mau ke mana? Kak! Kak Hyunjin!"

Hyunjin terus berjalan menjauh tanpa mempedulikan Jeongin yang memanggilnya. Hyunjin tidak bodoh, ia tahu Jeongin sudah pasti berbohong. Tidak ada sepasang teman yang melakukan hal itu. Jika sudah begini, Hyunjin bisa apa? Bahkan jika ia bertahan, Jeongin sudah tak lagi mencintainya.

Apa salahnya? Mengapa Jeongin meninggalkan dirinya? Apa kehadirannya selama ini tidak cukup bagi Jeongin? Pertanyaan terus berputar dalam pikiran Hyunjin—ia merasa semua salahnya. Setelah apa yang Jeongin lakukan, Hyunjin tetap tidak bisa membenci Jeongin. Perasaannya terlalu besar—ia tak sanggup melupakan Jeongin begitu saja.

Terhitung enam tahun sejak mereka pertama bertemu, dan tiga tahun setelah pernikahan mereka. Mustahil bagi Hyunjin untuk melupa. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak rasa yang ia berikan bagi Jeongin seorang. Tak mudah menghapus rasa itu dalam satu malam—Hyunjin butuh waktu untuk melepas. Mungkin satu bulan, satu tahun, atau dua tahun—atau bahkan rasa itu tak akan memudar; abadi selamanya.

‐♧‐

I have loved you for many years,
Maybe I am just not enough
You've made me realize my deepest fear
By lying and tearing us up.

‐♧‐

Just HyunJeong.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang