Prologue

3.5K 329 9
                                    

⠀⠀
⠀⠀
Sedetik lalu segala hal masih seperti London. Tepat di antara dinding platform King's Cross yang berpahatkan numeral 9¾, sesaat sebelum Bambam dengan spontanitas otak setengah lobaknya menjerembapkan Lalisa dengan kereta dorong.

"Wow." Bambam memandangi dinding itu dengan tatapan terkesima, sepenuhnya mengabaikan Lalisa yang mendelik jengkel di belakangnya. "Eh, Lice, cobalah berbalik."

"Demi Merlin," desis Lalisa membetulkan pakaiannya. Jubah Hogwarts terlihat aneh sekaligus menyeramkan di tubuhnya. Seumur hidup, Lalisa tidak pernah memercayai akan adanya penyihir, fairy godmother, putri katak, dan omong kosong lainnya tentang keajaiban. Dari saat ia kecil hingga saat ini. Yang mana bukan gagasan bagus mengingat ia dan Bambam sedang menuju ke wizarding school sekarang. "Konyol. Sangat, amat konyol."

Bambam memutar mata. Lalisa sudah mengulangi caciannya setidaknya tiga puluh kali sejak di Diagon Alley¹. "Terimalah nasibmu, muggle-born²."

Lalisa melotot. Tidak suka bagaimana kalimat itu terucap dan ditujukan kepadanya. Bertahun-tahun hidup bersama Bambam, tidak pernah ia menyangka bahwa keluarga yang selama ini hidup bersamanya berasal dari dunia sihir. Bloody hell. Mendengarnya saja sudah sangat tidak masuk akal.

Apa? Memangnya masih ada yang percaya dengan omong kosong penyihir di zaman modern ini?

Bambam kembali menatap dinding platform sepanjang King's Cross. Tembok itu berdiri menjulang dengan kokoh. "Jadi, kita tinggal," sebuah isyarat saling menabrak, "menghantamkan diri ke sana?"

Lalisa bergidik. Seharusnya mereka tengah mencari peron 9¾ dan berjalan menembus portal. Tetapi tentu saja semua itu tidak ada. Tidak masuk akal. Lalisa sedikit banyak telah mendengar instruksi dari ibu Bambam, dan well, itu sedikit mengerikan. "Kau tahu? Aku lebih memilih untuk drop out."

Saat berputar balik, seseorang menabrak bahu Lalisa cukup keras. Seekor burung hantu di pundaknya mengepakkan sayap terkejut. Lalisa berjengit namun sepasang tangan kokoh menahan bahunya. "Hei. Easy."

Suara itu mengudara ringan. Lalisa menengadah. Sesosok jangkung dengan pakaian acak-acakan tengah menatap malas ke arahnya. Rambutnya merah menyala. Seperti api musim panas yang membara.

Mata Bambam dan Lalisa membulat lucu sementara pemuda itu menatap aneh dua bocah berjubah kebesaran di hadapannya.

"Kalian tersesat?"

Lalisa dan Bambam saling bertukar pandang.

Laki-laki itu melirik ke arah sekelebat seragam Hogwarts di balik jubah mereka. Anak kelas satu. Tentu saja. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"

Lalisa mencengkram peta di tangannya. Menimang-nimang untuk menjawab apa karena dia diajarkan agar tidak berbicara pada orang asing. Tapi pemuda itu menggunakan seragam Hogwarts dan memiliki burung hantu aneh yang bertengger di pundaknya. Bambam menoleh penuh harap, menatapnya dengan puppy eyes yang berbinar.

Lalisa menarik napas panjang. "Kami tidak bisa menemukan jalan menuju Hogwarts Express."

Pemuda itu mengernyit.

"Lalu apa yang ada di belakang kalian?"

Bata. Setinggi pinus. Lalisa melongo. Bambam segera berseru penuh semangat, "Apa kubilang? Kita hanya perlu aba-aba, lari, menabrak dan, BANG!"

Mengerikan. Sungguh mengerikan.

"Kau boleh patah leher sendiri. Terima kasih." Lalisa baru benar-benar akan menarik kembali trolinya sebelum merasakan sepasang lengan merangkul bahunya. Menarik mundur mereka beberapa langkah.

"Tutup mata kalian."

Lalisa melotot sementara ia mulai merasakan dorongan kuat menuju arah dinding. Menabrak. Secara literal. Bambam berteriak senang. Mungkin mereka sedang menjadi pusat perhatian sekarang. Lalisa mendelik.

"APA YANG—"

Jeritannya tercekat di langit-langit tenggorokan. Matanya menutup rapat, namun sebuah kehangatan menjalar dari tangan di pundaknya. Lembut. Menenangkan. Tidak apa-apa. Lalisa menahan napas.

Gelap. Semuanya gelap.

"Kita sudah sampai."

Lalisa bahkan hampir melupakan tentang kereta dorong, Bambam, dan kesialan-kesialan mereka, ketika sepersekon kemudian, pemandangan Hogwarts Express adalah hal paling menakjubkan yang pernah ia lihat ketika membuka mata.

Aroma kopi mengepulkan asap pelangi, dekut merpati terdengar dan burung-burung itu terbang keluar dari kerah pakaian seorang pria, sementara berderet siswa-siswa berjubah Hogwarts menyebar memenuhi seisi stasiun.

Lalisa menatap tidak percaya. London berubah. Mereka kini berada di dunia yang sama sekali tidak dapat dijangkau manusia mana pun.

Inilah keajaiban.

"Iya, iya. Kau bisa membenturkan dirimu ke dinding kapan saja. Tapi, hanya agar kalian tahu, kita hampir ketinggalan kereta."

Lalisa tidak tersenyum. Banyak yang ingin ia tanyakan, namun mungkin sekarang hanya akan membuatnya terlihat seperti muggle idiot. Dan ia tidak suka itu. Maka Lalisa menarik Bambam serta kereta dorong barang-barangnya dengan kasar, kemudian membuka suara dengan lantang.

"Maaf. Boleh aku tahu namamu?"

"Taeyong." Ia menunduk. Membuat Lalisa dapat menatap tepat ke matanya. "Lee Taeyong."

"Oke! Lee Taeyong." Lalisa merengut. Alisnya meruncing seperti tengah memikirkan sesuatu. Ia lalu berbalik untuk menendang kaki Bambam, menyuruhnya agar berjalan lebih cepat. Sebelum benar-benar menghilang dari balik gerbong, Lalisa melongokkan kepalanya sesaat, masih dengan raut marah. "Terima kasih!"

Taeyong menaikkan sebelah alisnya.

Bocah aneh.

•••
⠀⠀

•••⠀⠀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1. Diagon Alley: Area perbelanjaan tempat siswa Hogwarts membeli perlengkapan sekolah mereka.
2. Muggle-born: Penyihir kelahiran manusia.

⠀⠀
⠀⠀
disclaimer
all credit goes to Harry Potter series & J.K Rowling

note: deeply apologize if there's any mistake i made (besides, banyak hal-hal yang gamungkin terjadi di hp universe but i make IT happens in here). this fic is for entertainment purposes and personal satisfaction only. enjoy your ride!

scarlet heart / yongliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang