"Oh, aku lupa bertanya."
Lalisa menghentikan langkahnya. "Ya?"
"Kau sibuk?"
Lalisa mendengus. Lee Taeyong baru saja menyeretnya keluar dari asrama, menuruni ratusan anak tangga, melewati lorong-lorong panjang, dan baru berpikir untuk menanyakannya sekarang. "Tidakkah menurutmu sedikit terlambat?"
Taeyong mengedikkan bahu. "Kau tampak menyedihkan di loteng membosankan perpustakaan."
Lalisa tertawa sarkatis. Hendak menyanggah kata loteng dan membosankan, namun ia tahu tidak ada gunanya. Lalisa lebih tertarik ke arah mana mereka berjalan sekarang, karena sejauh matanya memandang, tidak ada seorang pun di hamparan padang belakang Hogwarts. "Kau ingin mengajakku piknik?"
Musim panas kali ini Lalisa juga tidak pulang ke rumahnya. Begitu pula dengan Lee Taeyong. Lalisa selalu bertanya-tanya apakah laki-laki itu benar-benar tinggal di Hogwarts. Setidaknya beberapa musim sekali Lalisa tetap pulang bersama Bambam, tetapi afiliasi Taeyong dan Asrama Gryffindor tampak senyaman Hagrid dengan hutannya. Namun Lalisa tidak pernah bertanya.
"Diamlah." Lee Taeyong mengeluarkan sebuah bot tua ke tanah dan berpegangan di sisinya. "Kita sudah ketinggalan rombongan."
Kalimat terakhir barusan mengingatkan Lalisa saat dia masih di tahun pertama dan nyaris tertinggal Hogwarts Express. Taeyong juga mengatakan hal yang persis seperti itu. Lalisa mengernyit. "Apa ini? Aku juga harus berpegangan di sisi lain bot?"
Taeyong menarik lengan Lalisa, meletakkan tangannya di pinggir seberang Portkey. "Ya. Dan sebaiknya cepat. Kau tidak akan ingin melewatkan Piala Dunia Quidditch."
Lalisa mendelik. Taeyong tidak pernah menjelaskan apa pun tentang kejuaraan dunia atau Quidditch. Namun tiba-tiba sekelibat cahaya blitz menyambar, dan sebuah tarikan kuat gravitasi meneleportasikannya ke belahan dunia lain. Sinar-sinar itu mengurai tak terdefinisi, membawa Lalisa ke ruang ketidakadaan yang hampa. Silau, hening, dan membuatnya mual. Tubuh Lalisa berputar-putar dan perutnya bergejolak menahan muak, tetapi tangan Lee Taeyong meremasnya lembut.
⠀⠀
⠀⠀
Setidaknya ia tidak sendirian.
⠀⠀
⠀⠀"Aduh!"
Sedetik kemudian Lalisa merasakan punggungnya menghantam tanah.
"Hei, itu mereka!"
"Lama sekali."
"Kau tidak apa-apa?"
⠀⠀
Lalisa masih merasa linglung saat sebuah tangan terjulur ke arahnya. Dan setelah mendongak, Lalisa tidak sempat menjawab. Matanya langsung terpaku ke arah pemandangan di belakang orang-orang itu.Perkemahan legendaris Stadion Quidditch Trillenium.
•••
Lalisa masih membelalakkan mata. Tidak tahu harus lebih terkejut pada fakta bahwa sekarang ia berada di tengah-tengah keramaian Piala Dunia Quidditch atau bahwa ia baru saja melakukan teleportasi pertamanya. Taeyong hanya tertawa, menggeserkan sekotak popcorn. "Mau bertaruh siapa yang akan memenangkan pertandingan?"
Lalisa mendesis, "Lain kali jika mengajakku kencan, setidaknya bilang dulu destinasi wisatanya."
Taeyong tertawa keras. Suara rendahnya teredam oleh riuh-rendah sorakan pendukung dari Tim Bulgaria. Lalisa juga ingin menanggalkan seluruh otot-otot tegangnya dan bersenang-senang sepanjang malam. Tetapi Lee Taeyong benar-benar membuatnya mengira mereka hanya berpergian di sekitar Hogwarts, sehingga Lalisa masih mengenakan piyamanya. Piyama malam. Benar-benar tidak dapat dimaafkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
scarlet heart / yonglice
FanfictionKarena selalu ada yang menakjubkan tentang Hogwarts: kompartemen ekspresnya, para prefek galak, mantra-mantra magis, dan barangkali, tempat untuk kembali─pulang. Lalisa menyebutnya rumah. [ alternative universe based on Harry Potter by J.K. Rowling ]