"Kadang-kadang, kalian bisa jadi sangat idiot."
Lalisa tidak menoleh. Angin pergantian Desember menyapu dingin ujung lorong. Gemerlap Natal menyeruak dari masing-masing asrama. "Masih ada waktu jika kau ingin kembali."
Melanggar peraturan-peraturan Hogwarts di tahun pertama mereka adalah keputusan yang buruk. Selain berbahaya, kuliah panjang Prof. McGonagall hingga pemotongan poin asrama membayang-bayangi setiap langkah Lalisa. Namun, gadis itu tidak berhenti. Ia tidak bisa berhenti. Ada sesuatu misterius yang terus mengusik dan menariknya mendekat. Donghyuk benar, terkadang ia dapat menjadi sangat idiot.
Donghyuk menarik tangannya kesal. Dalam kegelapan, wajahnya memperlihatkan sebersit kemarahan. "Dan meninggalkan kalian sendirian?"
Koridor Hogwarts lengang. Bulir-bulir salju tampak mulai berjatuhan dari atas langit. Namun hati Lalisa menghangat. Bambam menepuk bahu Donghyuk, tersenyum lebar. "Aku selalu tahu kau dapat diandalkan."
Lalisa tersenyum tipis. Rencananya gagal. Berantakan total. Seharusnya ia pergi sendiri, bukan dengan Bambam maupun Donghyuk, atau malah terjebak bersama keduanya. Tapi, sekarang rasanya Lalisa tidak keberatan. "Kalian menyebalkan."
"Ayolah, kau akan berterima kasih nanti." Bambam merangkulnya dengan penuh percaya diri.
Mereka sampai di koridor terlarang tidak lama kemudian. Lalisa memandangi sekelilingnya lekat-lekat. Tidak ada tanda-tanda engsel yang dapat menghubungkan mereka ke sebuah ruangan. Hanya deretan dinding lorong menjulang yang gelap dan sepi. "Aku tidak menemukan apapun."
"Baguslah." Donghyuk menyerahkan tongkat mereka. Ia menariknya kembali saat Bambam hendak mengambilnya, "Ingat apa yang kubilang? Jika makhluk itu setinggi lima kaki—"
"Segera membanting pintu dan berlari menuju asrama," Lalisa memotong, memutar mata. "Dan jika Prefek bertanya, Bambam meninggalkan buku sejarahnya di perpustakaan."
Bambam mencebik. "Selalu aku kambing hitamnya."
Lalisa baru hendak membalas ketika suara-suara berdesing memecah keheningan ruangan. Ia mendongakkan kepala.
"Kalian mendengar sesuatu?"
Bambam dan Donghyuk sontak menoleh, menatapnya dengan pandangan bingung.
•••
Pixies. Makhluk kecil itu hanya setinggi delapan inci. Maka di antara mereka, tidak ada yang menyuarakan aba-aba. Lima menit sebelumnya, Lalisa tidak sengaja tersandung dan tangannya refleks bertumpu pada sebuah bingkai lukisan besar. Saat lukisan itu bergeser, dinding dihadapannya bergetar dan membelah lebar. Menampakkan tangga menuju ruangan bawah tanah.
"Sial! Mereka menggigit!"
Bambam adalah yang pertama kali berteriak. Lalisa dan Donghyuk segera menariknya menuju tangga, namun tiba-tiba akses menuju lorong tertutup. Donghyuk mendecih. "Kita terperangkap."
Makhluk-makhluk itu berdatangan semakin banyak. Beberapa berterbangan menukik seperti gerombolan kelelawar. Pixies tidak berbahaya, seorang profesor bahkan menggunakannya sebagai latihan pertahanan. Namun diserang oleh gerombolan pixies yang marah tentu bukan opsi menyenangkan.
Lalisa memandangi botol-botol berisi potongan-potongan anatomi monster. Menilai dari kondisi ruangan yang kotor, berantakan, serta para pixies yang dibiarkan berterbangan sesuka mereka, ini pasti bukanlah ulah pengajar di Hogwarts. "Apakah ini tempat seseorang menyembunyikan laboratorium eksperimennya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/226501693-288-k342314.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
scarlet heart / yonglice
FanficKarena selalu ada yang menakjubkan tentang Hogwarts: kompartemen ekspresnya, para prefek galak, mantra-mantra magis, dan barangkali, tempat untuk kembali─pulang. Lalisa menyebutnya rumah. [ alternative universe based on Harry Potter by J.K. Rowling ]