8. Perduli

74 6 0
                                    

Membenci bukan berarti tak perduli bukan?

***

Perasaan ku gelisah sejak tadi, fokus ku terbelah begitu saja. Jantung ku pun berdenyut tak karuan. Sesekali ku lirik jam mocca yang setia melingkar ditangan ku. Jalanan ibu kota pun padat bukan main, suara klakson kendaraan tak henti-hentinya berbunyi menulikan indra pendengaran. Aku berdecak sebal saat harus berurusan dengan lampu merah yang membuat ku menunggu. Semenit kemudian aku langsung menarik gas roda dua ku. Akhirnya tempat yang dituju terlihat oleh mata, seketika aku langsung lemas melihat gerbang yang sudah tertutup rapat.

Diarah sana suara geberan motor membuatku tertoleh karenanya. Ternyata dia juga sama nasib seperti ku. Kita sama-sama terlambat, sykurlah ada yang menemani batin ku lega. Cowok itu memakai motor trail dengan helm full face juga hoodie hitam nya. Aku merasa tidak asing dengan penampilannya. Ah sudah lah itu hanya perasaan ku, sangkal ku membatin.

Cowok itu dengan nyaringnya mengelakson ke arah gerbang sekolah. Aku hanya diam memperhatikan. Karena merasa kebisingan pak Yadi pun datang dengan muka sangarnya sambil menggelengkan kepala. Aku takut sangat takut sebelum nya aku tak pernah melakukan ini.

"Sia deui," ujar Pak Yadi yang membuat ku bingung. Aku? Kapan? Bukankah baru kali ini ku terlambat.

Si cowok itu membalas, "Hellow pak Yadi dadi ula ulala! Kumaha damang teu?"

"Teu damang selagi aya maneh," ujar pak Yadi kira-kira begitu.

"Haha yaudah doain saya biar cepat lulus," ujar cowok itu yang kemudian bersuara kembali. "Eh nanti si bapak kangen lagi sama ketampanan saya."

"Kamu itu ya belum saja saya kasih lihat foto muda saya yang lebih dari kamu," bangga pak Yadi.

"Beuh bisa kalah saing ini mah," balas cowok itu.

"Jauh level kamu sama saya mah," ujar pak Yadi angkuh.

"Mantap! Setara ini mah sama Lucas yang iklan kopi," balas Karel.

"Nah eta kulkas!"

"Lucas pak ya ampun anak koryah dikata kulkas," cowok itu tertawa terbahak-bahak, hingga aku pun ikut tertawa pelan.

Kemudian pak Yadi melirik ke arah ku, spontan aku menyudahkan tawa ku. "Neng anak baru?" Tanya satpam itu pada ku.

Aku menggeleng. "Eh eum. Bukan saya udah hampir dua tahun sekolah disini," jawab ku dengan gugup.

"Kok saya gak pernah liat kamu ya," ujar pak Yadi kembali.

"Nolep kali anak nya haha," balas cowok itu dengan seenak nya. "Pak gak kasian apa ini anak orang pegel. Kasih masuk gitu," pinta cowok itu.

Pak Yadi hanya pasrah membuka kan gerbang untuk kami. Kemudian cowok itu melemparkan jari berbentuk love ke arah pak Yadi. Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, lalu aku masuk menuju tempat parkir. Kami berpisah saat cowok itu lebih memilih tempat parkir yang berlawanan arah dengan ku.

Setelah merasa sudah menemukan tempat kosong, aku langsung memakirkan motor cream ku dan membuka helm bogo yang sedaritadi terpasang dikepalaku. Aku menghempaskan nafas pasrah, kemudian melangkahkan kaki secara takut-takut.

Ternyata upacara masih berlangsung. Alamat ku pasti dihukum dengan barisan yang berbeda. Benar saja aku langsung ditarik kebarisan paling depan yang dimana matahari akan menyorot lebih panas. Disana hanya aku sendiri. Aku langsung teringat dengan cowok yang senasib dengan ku, pasal nya dia tidak terlihat berbaris disini. Karena tak ingin matahari menyapa, aku pun menunduk tuk melindungi wajah dibalik topi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang