Capter 3

109 4 8
                                    

Suasana petang dengan langit berwarna jingga memancing Ange agar keluar menuju balkonnya. Ia duduk di lantai dengan menjadikan lututnya sebagai tumpuhan dagu.

Ia menerawang jauh ke depan, mengingat kejadian di sekolah membuat egonya tersentil. Ia tidak terima perlakukan Riel yang semena-mena padanya. Hingga suara pintu yang di buka begitu saja tanpa permisi membuat Ange menoleh.

"Di sekolah lo belajar sopan santun 'kan?" sinis Ange.

Mora berdecak, ia melipat kedua tangannya besedekap dada, "Lo masih berhubungan sama kak Dheo? Lo nggak ikutin apa yang gue printah?" tanya Mora sarkas.

"Kenapa gue harus ikutin apa yang lo perintah? Kalau lo nggak lupa, lo cuma numpang di sini. Gak ada sejarahnya tuan rumah patuh sama tamu—ups, lo masuk ke daftar tamu nggak, sih? Keknya enggak deh. Lo lebih yang...  numpang idup tapi nggak tahu diri." ujar Ange lebih sarkas.

"Belum gue tampar juga, ya lo." teriak Mora emosi.

Ini bukan kali pertamanya mereka berdua adu cekcok seperti ini. Bahkan jika ada waktu, mereka memilih menghabiskan waktu dengan saling menyerang satu sama dengan yang lain. Mora dan Ange saudara tiri dan mereka  berdua tidak akan pernah akur.

Ange jelas ingin melayani peperangan yang di kibarkan Mora. Namun, dering ponselnya berbunyi. Kak Dheo. Nama itu muncul dalam layar handphone Ange.

"Lo berani angkat, gue banting hp lo." ancam Mora. Ange tidak mengindahkan ancaman tersebut dan ia benar mengangkat panggilan Dheo dan bahkan menekan tombol speaker.

"Bisa ketemu? Gue di bawah. Turun kalau lo nggak sibuk." ujarnya lalu sambungan terputus.

"Lo nggak dengar? Minggir!" ujar Ange membentak. Tapi tak urung membuat Mora bergeming barang sedikit saja dari tepatnya berdiri. Bahkan ia memasang tameng, menjaga pintu agar Ange tidak bisa melawatinya begitu saja.

"Udah berapa kali gue tekanin! Jauhin Dheo." tekan Mora benar-benar emosi.

"Lo buta? Liat sendiri. Dheo yang lebih dulu ngehubungin gue, dia sendiri yang nyamperin gue. Yang harusnya lo peringatin itu, Dheo. Bukan gue!" balas Ange.

"Itu karena lo kecentilan, ganjen, sok kecakepan, nggak tahu malu. Lo ingat 'kan? seberapa murahannya lo ngejar-ngejar Dheo saat Smp?! Emang ya, ciri-ciri pelakor dalam diri lo berkembang dengan baik."

Sialan.

Kali ini Ange diam, semua yang di katakan Mora benar-banar menyetil hatinya. Dan semua itu bukan omong kosong belaka.

Ange pernah segila itu pada seorang yang bernama Ramadheo. Topik yang menjadi keributan Ange dan Mora saat ini.

"Kenapa lo diam? Nggak bisa berkutik? Lo pikir gue nggak tahu kelakuan busuk lo selama ini apa aja." serang Mora habis-habisan.

Ange meremas hebat handphone yang ada dalam genggamannya, dan tanpa pikir panjang menimpuk kepala Mora berulang-ulang kali dengan benda pipi tersebut. Kali ini Mora benar-benar keterlaluan, tidak seharusnya Mora mencari tahu privasi-privasi Ange dan menjadikannya bahan untuk menyulut emosinya seperti sekarang. Lagipula, kejadian itu sudah lama berlalu.

"Gila ya, lo! Sakit sialan." ringis Mora memegangi kepalanya, berusahan menghentikan aksi Ange yang bisa saja membunuhnya.

"Berhenti bangsat!" teriak Mora kesakitan, namun Ange menulihkan pendengarannya, ia ingin melenyapkan gadis sialan ini.

"Ange! Lepaskan anak saya. Berhenti saya bilang Ange!" teriak Renattha—Ibu tiri Ange.

"Kamu ini benar-benar keterlaluan ya, Ange. Bisa-bisa anak saya mati di tangan kamu. Sebenarnya kamu ini adalah masalah apasih? Saya tahu kedudukan saya di sini hanya sebatas ibu sambung kamu. Tapi tolong jaga sikap kamu! bagaimanapun saya ini istri dari Ayah kamu." ujar Renattha.

Short Relationship [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang