"DIRAAAAAAA!!!" teriak seseorang dari pintu yang terbuka lebar.
Menampakkan dua orang yang sangat Adira kenal sedang berjalan menuju brankarnya.
"HUAAAA GUE KANGEN BANGETTT!" pekik Talia dan disampingnya adalah Bian dengan kedua tangan yang menutupi telinganya karena ulah Talia.
"Dasar toa berisik lo, ini tuh rumah sakit!" cibir Bian.
Adira hanya tertawa dibuatnya. "Elah lo marah-marah aja, lo juga di sekolah sedih karena kangen sama Dira kan!?"
"Iya tapi ga lebay kaya lo!" sahut Bian lalu duduk dikursi sebelah brankar Adira.
"Gimanaa kabar lo? udah mendingan?"
"Kondisi aku baik banget malah garagara kalian datang kesini." diakhiri tawa lalu mengisyaratkan kedua tangan yang terbuka karena ingin memeluk teman-temannya itu sebelumnya ia meminta Sean untuk membantu Adira bersandar ke headboard.
Talia pun mengerti akhirnya ia memeluk Adira, sedangkan Bian yang berniat menghampiri pelukan Adira ditahan oleh seseorang. "Lo gaboleh!" sahut Sean dari hadapan Bian sambil menahan dahi Bian dengan telunjuknya.
"Gue kan temennya!"
"Modus doang." kata Sean dengan nada dinginnya.
Sedangkan Talia dan Adira tertawa melihat Bian yang adu mulut dengan Sean, lebih tepatnya Bian yang ngomel-ngomel karena Sean tidak terlalu peduli.
Tak terasa mereka mengobrol sudah 2 jam lamanya, karena melepas rindu. Alden dan Almeta ternyata sudah berada di ruang rawat Adira saat mereka sedang asik mengobrol. Ini sudah hari ke empat semenjak Almeta mendonorkan sumsum tulang belakangnya kepada Adira.
Alden dan Almeta hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Adira seperti anak kecil. Jika dirinya boleh memilih, ia mau adik kesayangannya itu bertingkah seperti itu saja. Alden lebih suka Adira bawel dibanding harus melihat Adira memandang hampa apa yang ada disekitarnya. Alden juga lebih suka Adira tertawa nyaring dibanding harus melihat Adira teriak kesakitan. Alden memang sangat menyayangi Adira. Ia rela melakukan apa saja supaya adiknya itu sembuh.
Teman-teman Adira pun pamit untuk pulang karena sudah puas dengan hari ini melihat juga mengobrol dengan Adira.
Tersisa Sean, Alden, Almeta juga Adira. Almeta beranjak dari sofa dan mendekat ke brankar Adira, ia berniat mengatakan sesuatu namun sebelum itu ia mengisyaratkan Alden untuk keluar ruangan begitu juga Sean yang mengerti.
Tinggalah Almeta dan Adira di ruangan itu, Almeta memegang tangan kanan Adira dan mengelusnya.
"Maafin gue ya, Ra!" belum apa-apa namun mata Almeta sudah berkaca-kaca ia mengingat banyak sekali perkataannya yang tidak baik kepada Adira namun selalu adiknya itu tersenyum kepadanya walaupun Almeta tau banyak rasa sakit yang adiknya itu sembunyikan.
Adira mengulurkan tangannya ke pipi Almeta untuk menghapus air mata Almeta.
"Kak Meta gasalah kok, maafin aku selalu bikin Kak Meta kehilangan orang-orang yang Kak Meta sayang." kini Adira yang mulai berkaca-kaca.
"Jelas gue yang salah, gue yang terlalu memforsir diri gue sendiri untuk mikir kalo lo penyebab semua masalah padahal lo ga salah apa-apa." Almeta langsung memeluk Adira erat.
"Sekali lagi maafin gue ya, Ra. Gue sadar perkataan dan perilaku gue ke lo selama 16 tahun lo hidup gue gapernah baik." Adira hanya mengangguk karena tak kuasa menangis, inilah impian dan doanya disetiap malam agar kakaknya itu bersikap baik kepada dirinya seperti layaknya kakak pada umumnya.
Tak menyangka bahwa kaka nya kini luluh, Adira bahkan berpikir bahwa kaka perempuannya itu tak akan berubah sampai ia pergi untuk selama-lamanya pun. Bahkan tak akan merasa sedih, karena kini penyebab dari setiap masalah di keluarga sudah pergi selama-lamanya.
Tapi dugaannya pun salah, kini kaka perempuannya memeluk Adira pertama kali selama ia hidup. Mulai detik ini, Adira suka pelukan dari kaka perempuannya itu membuat ia merasa lebih nyaman juga tenang.
'Semoga tuhan memberikan aku lebih banyak waktu supaya bisa merasakan rasa ini juga bisa membahagiakan orang-orang yang aku sayang.' ucapnya dalam hati.
"Ka Meta jangan tinggalin Rara ya!" katanya masih dalam keadaan berpelukkan. Rasanya Adira tidak ingin melepas pelukan ini.
"Lo yang jangan kemana-mana, Ra!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken
Teen FictionCerita seorang gadis mencoba melawan penyakit leukemia yang di deritanya dengan senyuman juga tawa untuk menyembunyikan banyak rasa sakit. Menghibur orang lain dengan begitu hebatnya. Padahal dalam dirinya pun tengah hancur, menahan sebuah rasa saki...