#32

3.5K 166 2
                                    

Beberapa menit setelahnya Adira terus menggigil kedinginan. Namun, anehnya tubuhnya sangat panas dan keringat terus membasahi tubuhnya, membuat perawat harus berkali-kali mengganti pakaian Adira agar gadis itu tidak terserang flu atau pneumonia.

"Bang Alden,sakitttt bang." Di ambang kesadarannya, Adira terus menggumamkan nama Alden, entah dia sadar atau tidak. Dia bahkan terus mengeluh. kesakitan sambil memanggil-manggil abangnya itu.

Di sampingnya, Sean benar-benar panik baru pertama kali ia melihat Adira kesakitan seperti ini. Dia hanya bisa menyeka keringat yang membasahi wajah Adira sementara Dokter Bram terus mencoba menyelamatkan Adira. Bahkan morfin yang disuntikkan dokter Bram tidak bisa membuat Adira lebih baik. Adira terus kesakitan, kedinginan dengan tubuh yang seperti terbakar.

"Bang, sakit.."

Kali ini Adira bahkan terbatuk-batuk menyakitkan. Dokter Bram segera memasangkan masker oksigen dan menaikkan tekanan oksigennya agar Adira lebih mudah bernapas, namun napas gadis itu masih tersenggal. Bahkan seperti tengah tercekik. Dokter Bram sadar, Adira sudah tidak bisa lagi mendapatkan kemo atau sumsum tulang belakang. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anak itu.

"Adira!"

Huek!! Huekk! Uhukk!

Alden datang tepat saat Adira memuntahkan darah kembali dari mulutnya. Alden sempat membeku di tempatnya sebelum akhirnya mengambil alih wadah muntahan yang dipegang Sean dan memijat tengkuk Adira dengan lembut.

Puas memuntahkan darah itu, Adira kembali meringuk kesakitan. Kali ini sambil mencengkram tangan Alden, entah dia sadar atau tidak telah melakukannya.

"Abang, sakit." bisik Adira disertai ringisan dan erangan yang mengerikan. Kalimatnya tersendat diakhiri dengan batuk mengerikan. Sean yang melihat kejadian itu kini sudah mengeluarkan air matanya deras tanpa suara.

Alden segera memasangkan kembali masker oksigen yang tadi sempat dilepas saat Adira muntah. Adira terus menggeliat, cengkeraman di lengan Alden juga semakin kencang terutama saat Adira berteriak-teriak kesakitan.

Dokter Bram kembali menyuntikkan penghilang rasa sakit dan obat tidur dengan dosis tertinggi yang dimungkinkan, namun tidak ada perubahan berarti. Adira terus kesakitan, dia bahkan sudah menangis sejak lama, begitu juga dengan Alden.

"Sabar Ra, sabar. Ayo, Rara bisa lawan rasa sakitnya."

Adira sudah mulai tenang, entah kelelahan atau memang sudah tidak lagi merasakan sakit. Alden juga merasakan cengkeraman Adira di tangannya mulai mengendur.

"Jangan nyerah, jangan tinggalin gua Ra, jangan pergi!" sahut Sean

"Adira gaakan pergi.." Setelah kalimat itu Alden juga Sean tidak mendengarkan suara gadis itu lagi. Kelopak matanya itu juga tertutup sempurna. Dokter Bram segera memeriksa detak jantung dan napas Adira, memastikan Adira masih ada diantara mereka. Ketika dokter Bram menghela napas panjang dan mengangguk, Alden langsung terjatuh lemas di lantai juga menangis meraung-raung disana begitu juga Sean menangis frustasi kehilangan gadis yang membuatnya kini masih semangat dalam menjalani hidup. Dokter Bram segera memeluk Alden, menenangkan Alden seperti tengah memeluk anaknya sendiri. Sean juga sama rasa sakitnya, rasa takutnya.

"Ikhlas ya."

Alden tidak menjawab apapun. Dia terus menangis di pelukan dokter Bram, sesekali mencengkram lengan dokter Bram menyalurkan sesak di dadanya.

Beberapa menit kemudian dokter Bram memberitahu Alden bahwa kini Adira kembali, ia langsung membawanya ke ruang ICU.

Alden melihat beberapa perawat berlarian ke kamar rawat Adira dengan menggunakan pakaian khusus dan membawa beberapa alat untuk membersihkan ruangan. Detik itu Alden mengerti, ada bakteri atau virus yang bersarang di tubuh Adira, menyiksa adiknya sehingga harus kembali masuk ke dalam ruang ICU seperti sekarang ini.

Di dalam ruang ICU yang berbatas kaca, Alden dan Sean bisa melihat Dokter Bram dan satu dokter lain berusaha menyelamatkan Adira. Mereka juga memakai pakaian khusus seperti perawat-perawat tadi, memasangkan alat-alat aneh ke tubuh Adira. Setiap detiknya terasa menegangkan. Sean bahkan tidak bergerak seincipun dari tempatnya berdiri, masih tetap menatap Adira yang tengah berjuang di dalam sana.

Tuhan, tolong jangan sekarang. Aku mohon, jangan ambil Adira sekarang. Beri kami sedikit waktu lagi untuk bersama.

Dunia Sean seakan runtuh, tapi dia mencoba tetap bertahan di depan ruang ICU tanpa beranjak sedikitpun. Pandangannya tidak lepas dari Adira, sementara tangannya terus memegang dada, berdoa kepada tuhan untuk tidak mengambil gadis kesayangannya sekarang.

UnspokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang