"Jangan pernah menghakimi seseorang dari satu sudut pandang."
Clarine kini tengah memperhatikan guru dihadapannya yang sedang mengajarkan pelajaran. Terlampau kini sudah seminggu Clarine sekolah di sekolah barunya. Awal yang sangat mengesankan karena teman temannya tampak tidak terganggu akan kekurangan yang dimiliki nya. Namun, Clarine tetap merasa belum percaya sepenuhnya akan kondisi nya yang diterima seluruh temannya. Dirinya yakin bahwa di dasar benak mereka pasti ada rasa tidak suka saat melihat dirinya. Dan Clarine memakluminya bila ada.
Kringgg.....
Bunyi bel pulang sekolah yang membuat Clarine terpaksa membereskan buku buku dihadapannya. Dirinya merasa bersemangat setiap membuka buku buku pelajaran kaere di sekolah nya yang baru itu dirinya masih merasa kesulitan menyesuaikan pelajaran yang banyak belum dipahami nya.
"Clarine gue duluan ya!" Ucap Adinda yang berteriak di depan pintu kelas yang di balas anggukan oleh Clarine.
Kini kelas tampak kosong saat satu per satu teman temannya tampak keluar kelas dan menyisakan dirinya sendiri. Dirinya menikmati kekosongan kelas yang menenangkan baginya. Tampak langit sore sangat indah menjadi tontonan Clarine di kelas melalui jendela. Kini dirinya tengah menunggu Tionaldo untuk mengobrol dengannya.
"Kak, maaf telat!" Tionaldo masuk kedalam kela Clarine dengan seragam basket andalannya.
"Iya gak masalah kok. Sini duduk." ucap Clarine ramah.
Kini mereka telah duduk samping sampingn. Belum ada pembicaraan diantara mereka, masih nyaman dengan kekosongan itu. Tampak Clarine kembali menatap langit sore yang makin kesini makin indah di pandang.
"Kak apa kabar?" Tio membuka suara.
Clarine tersenyum dan menyibakkan rambut nya yang menutupi telinganya. Tampak alat bantu dengar miliknya masih bertengger manis disana.
"Apa gara gara kecelakaan itu?"
Lagi lagi Clarine menjawabnya dengan anggukan dan senyuman yang tampak sangat dipaksakan.
"Kak, sekali lagi aku mewakili keluarga aku minta maaf kak. Kami menyesal akan kecerobohan yang di lakuin Kak Diono dulu. Salah kami yang biarkan kecelakaan itu terjadi, sehingga kakak jadi begini. Mama kakak sampai meninggal, papa kakak juga ikut sama mama kakak. Kini Edellyn kembaran kakak harus kakak sembunyi kan dari abang kakak, gara gara kondisi Edellyn yang gak memungkinkan diajak komunikasi secara normal." Tionaldo langsung berlutut dihadapan Clarine dengan kepala tertunduk.
Clarine mengadahkan kepalanya ke atas, mencoba menahan air mata perih akibat perkataan Tionaldo yang seperti mengingat kan kondisi keluarga nya kini. Bahkan abangnya pun tidak mengetahui bahwa adik nya masih hidup, namun kondisi kejiwaannya yang terganggu akibat kecelakaan mobil itu.
"Udah gak pa pa. Aku udah maafin kok, lagian itu mungkin sudah jalan takdir Dari Tuhan. Tuhan sayang mamah sama papah, makanya Tuhan ambil mereka. Dan untuk Edellyn kan dia udah dirawat sama rumah sakit milik keluarga kamu. Jadi, seharusnya aku yang bilang terima kasih kan?" Clarine membantu Tionaldo berdiri dan mengelus kepala laki laki itu yang tampak kini lebih tinggi darinya.
"Kakak mau ketemu Kak Edellyn?" tawar Tionaldo yang langsung dibalas gelengan oleh Clarine.
"Lain kali aja ya. Kakak belum sempat ke sana, nanti kalo ada waktu kosong kakak mampir kok." Clarine berpamitan pulang setelah nya karena hari udah mau gelap sebentar lagi.
"Eh, kak bentar. Kakak aku antar pulang ya!" Ucap Tionaldo dengan mata penuh harap.
"Iya udah ayo!" ucap Clarine yang langsung menarik tangan Tionaldo menuju parkiran sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lensa Kamera
Teen Fiction"Rasa aku ke kamu itu kayak lensa kamera. Yang kalo udah fokus sama 1 objek, maka yang lain burem." Ketika awalnya semua monoton aja. Aku yang suka menyendiri, yang merasa orang lain hanya lah suka memanfaatkan. Namun, tiba tiba kamu hadir menarik p...