B A B 3

3 0 0
                                    

Balasan dari Lethean kembali lagi dua hari berikutnya, bersama sebuah gaun dengan warna yang tidak biasa. Seperti abu-abu atau perak. Dengan warna yang tergradasi dengan sempurna, dari gelap ke terang, dan ratusan kristal yang menghias bagian keseluruhan gaun dengan ukuran sangat kecil yang hampir tidak terlihat olehku,

seperti debu.

Sebuah badai

Gaunnya adalah sebuah gambaran sempurna dari badai.

"Wow," Drim menggeleng-geleng.

"Setidaknya aku bisa mengenakan gaun yang benar-benar indah saat Arctossla," balasku. "Kau ingat Elios?"

Kami berada di kamarku. Memandangi paket dari Maestas Elios, beserta suratnya yang hanya berisi satu kalimat 'Aku akan merasa terhormat dan senang apabila Celsi mengenakan gaun ini'.

Aku sempat menahan tawa. Surat kami terdengar sangat kasmaran sampai aku berada di titik bahwa aku lupa jika semua ini hanyalah politik.

"Secara fisik?" tanya Drim.

Aku mengangguk. "Aku hanya mengingat rambut dan mata perak, mirip seperti albino."

Drim menggeleng. "Tidak seputih itu. Perak, ingat? Warnanya beberapa bayangan lebih gelap," ia menghela napas. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan fisik calon pasangan hidupmu, ia seperti kita para lelaki Talentum, memiliki paras indah. Kau lihat wajahku?"

"Ya," aku mengangguk. "Membosankan."

"Kasar sekali," gerutunya pelan seraya mengambil gaun tersebut dan mengangkatnya, melihatnya secara keseluruhan sekali lagi di depanku. "Kurasa kau perlu kurusan lagi."

Aku mengambil air dari kamar mandi dengan bakat tiruan dari sentinel yang menjaga pintu kamar tidurku dan menumpahkannya kepada Drim sambil menjaga gaun perakku dengan bakat Relier yang juga sedang berjaga agar tetap kering.

"Sialan kau, Ken!" decaknya kesal. Ia meletakkan gaunku kembali di atas tempat tidur.

Aku memberi senyuman manis. "Jangan pernah berbicara omong kosong, mea frer."

"Jangan mengharapkan aku duduk di sampingmu lagi untuk makan malam nanti," decaknya sambil berlalu pergi, hendak keluar dari kamarku.

"Jangan sampai terpeleset, Drim!" sahutku sambil tersenyum.

Drim mengumpat seraya melanjutkan langkahnya dan keluar, menutup pintu dengan sedikit keras.

Aku duduk di atas tempat tidur. Senyumku mereda begitu aku sendirian lagi. Aku tidak tahu harus merasa seperti apa. Takut, waspada, atau apa? Semuanya terasa...datar. Seperti aku menerima semua ini dengan lapang dada dan begitu saja.

Mungkin karena aku sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi jauh sebelumnya? 

Dan dengan masa lemah ayah yang sudah dimulai...hal yang penting bagiku sekarang adalah kedudukanku dan kedua saudara laki-lakiku. Apapun bisa terjadi dengan goyahnya seorang Maestas. Kudeta, revolusi apapun itu. Terutama perlawanan dari Humilis yang masih belum tuntas sepenuhnya. Meskipun ayahku telah memberikan keadilan yang mereka tuntut setelah selesainya Perang Besar, masih ada percikan api yang hidup dari sisa-sisa kelompok pemberontak.

Hal yang sama terjadi di Kerajaan Castalerr. Alasan mengapa para Humilis lebih liar daripada di teritori milik Lethean dan Archenmav adalah karena dahulu di benua kami terjadi perang terbesar yang ada dalam sejarah. Maka dari itu kami menyebutnya Perang Besar. Dahulu, yang kuat menindas yang lemah. Maka dari itu para Humilis memberontak. Hal ini memecah Conendium menjadi dua, yakni sebutan untuk 4 kerajaan benua Hasvere yang satu. Satu bagian, yakni Atmorean dan Castalerr, memihak tradisi lama. Satu bagian yang lain, yakni Lethean dan Archenmav, memihak para Humilis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The HeirsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang