Suasana ruangan berdominasi warna putih itu terasa tegang, semua orang duduk dengan gelisah. Menunggu seseorang lelaki yang berada di atas kasur terbangun dari tidur panjangnya.
"Bu! Kakak sudah bangun." Seorang gadis kecil berteriak ketika melihat tangan lelaki itu bergerak.
Setelah gerakan tangan, kelopak matanya pun perlahan ikut bergerak.
Wanita paruh baya yang duduk tak jauh darinya, langsung menekan tombol yang tersedia pada headboard untuk memanggil suster.
"Kak!"
Gadis itu berlari menghampiri sosok lelaki yang terbaring lemah dengan air mata yang mengalir di wajahnya.
"Akhirnya kakak bangun."
Isakannya semakin deras ketika lelaki itu mengusap pelan pucuk kepalanya.
"Kenapa kakak lama sekali?" Tanya nya sambil terisak
Lelaki itu hendak menjawab namun urung ketika melihat pria paruh baya berjas putih masuk ke ruangannya dan diikuti oleh beberapa wanita berseragam di belakangnya.
Ia mendengar samar-samar percakapan pria paruh baya itu, entah kenapa ia tak bisa mendengar dengan baik ketika jaraknya lumayan jauh dari dirinya.
Tak lama kemudian, ruangan itu kembali hening dan hanya tersisa gadis kecil, ibunya, serta dirinya sendiri.
"Kau sepertinya telah mengalami perjalanan yang cukup panjang." Ucap ibunya sambil menggenggam erat tangan putranya.
Lelaki itu tersenyum simpul dan berkata, "Iya, sepertinya aku telah melewatkan banyak hal."
"Tidak juga kak, setidaknya setelah ini aku tidak perlu lagi menunggu kakak terbangun lagi kan? Aku bisa mengajak kakak bermain kapan pun aku mau."
Gadis itu memamerkan deretan giginya yang belum tumbuh sempurna seraya meraih tangan lelaki itu untuk di genggam.
"Nanti kita bermain lagi, Oke? Doakan kakak bisa cepat keluar dari rumah sakit." Kata lelaki itu yang dibalas anggukan oleh gadis itu yang setelah ya ia meminta izin untuk bermain di taman bermain rumah sakit.
"Bu, Rena apa kabar?"
Tiba-tiba raut wajah ibu terlihat serius, perasaan Renjun menjadi buruk. Pikirannya berkecamuk. Apa ada berita buruk yang menimpa gadisnya itu?
Ah iya, gadis itu sudah bukan miliknya lagi sekarang. Ia hampir melupakan fakta itu.
"Bagaimana ibu menjelaskannya ya?" Wajah ibu terlihat gusar, seperti tidak nyaman dengan apa yang akan hendak ia katakan.
Renjun masih setia menunggu jawaban dari ibunya.
"Baiklah, ibu akan menjelaskannya padamu." Kemudian ibu menundukkan kepalanya, seperti ingin menyembunyikan raut wajahnya dari putranya itu.
"Beberapa minggu yang lalu, ibu terlalu senang ketika mendengar ada yang akan menjadi pendonor yang cocok untuk mu. Saat itu kondisimu benar-benar sudah memburuk, penyakit yang kau miliki sedari kecil, semakin parah, lalu kau juga mengalami kecelakaan. Ibu benar-benar tak memiliki harapan."
Renjun masih menyimak perkataan ibunya, sembari berharap bahwa apa yang ada terlintas di benaknya tidak terjadi.
"Lalu,ibu menyetujui saran dari doktermu untuk melakukan operasi, karena memang itu yang ibu inginkan untukmu. Tapi ibu tidak mengetahui bahwa yang akan menjadi pendonor mu adalah Rena."
Nafas Renjun tercekat, lidahnya kelu, pasokan oksigen di sekitarnya seperti terserap begitu saja.
Dirinya terkejut, tak tahu harus bagaimana.
"Maafkan ibu, seharusnya ibu melarang dia melakukan itu."
Ibunya kini terisak di hadapannya dan beberapa kali menggumamkan permintaan maaf.
Tak disadari, air mata Renjun pun ikut mengalir.
Renjun tak menyangkan bahwa gadisnya itu akan melakukan hal senekat itu. Padahal setelah ia mengetahui kondisinya semakin memburuk, ia memilih untuk memutuskan hubungan dengan Rena dengan harapan gadis itu akan hidup bahagia tanpa dirinya.
Saat ini ia dapat merasakan emosi yang cukup kompleks di dalam dirinya. Ia menangis, merasa marah dengan dirinya, kecewa dengan peristiwa yang tak disangka-sangka, tapi tak menyangkal bahwa ia senang bisa hidup kembali.
"Maafkan ibu." Tangisan ibunya tak berhenti-henti, walaupun sapu tangan yang ia gunakan sudah basah semua.
"Ia meninggalkan beberapa surat untukmu, mungkin setelah ini kau dapat membacanya." Kata ibu yang masih menangis.
Renjun masih terdiam, berusaha memahami keadaan yang terjadi. Namun sepertinya, setelah berbulan-bulan tak sadarkan diri. Otaknya kini sulit untuk diajak bersahabat.
"Ibu ke kamar mandi dulu."
Renjun mengangguk lemah. Kemudian ketika ibunya hilang dari pandangan, air mata Renjun kembali menetes. Terisak pelan, sambil mengenggam surat-surat yang diberikan Rena untuknya.
"Kenapa harus kamu?"
~THE END~
Aku ingin mengucapkan banyak terimakasih telah membaca dan mendukung cerita ini dari awal hingga akhir.
Sampai jumpa di cerita selanjutnya~
감사합니다~
Love,
Mxxnandstars
KAMU SEDANG MEMBACA
『 l e t t e r 』huang renjun
Conto"Ku harap kau membaca surat ini, agar kau tahu bahwa aku masih mencintaimu."- Rena [Renjun|AU] Copyright 2020 © by mxxnandstars