22

17 5 4
                                    

Eloise mengurung diri di dalam kamar seharian ini dan tentu saja itu membuat Caroline khawatir. Caroline sudah mengetahui semuanya. Eloise menceritakannya kemarin padanya tentang kepindahannya ke Boston. Hal itu sudah pasti membuat Caroline terkejut dan juga sedih. Ia juga pasti akan merasa kehilangan jika Eloise pindah nanti. Ia akan kehilangan teman yang bisa diajak bercerita dan juga teman yang bisa ia pinjam bukunya.

Eloise terlihat sedikit lebih baik hari ini daripada kemarin. Kemarin, ia terlihat begitu berantakan dengan kedua matanya yang sembab. Ia pasti menangis selama entah berapa lama hingga kedua matanya terlihat sembab. Namun hari ini ia terlihat lebih tenang. Ia tidak lagi menangis sekarang, namun hari ini ia lebih sering melamun dari biasanya.

Caroline hanya mengusap-usap punggung Eloise. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk membuat suasananya menjadi lebih baik.

"Apa kau ingin makan sesuatu?" Tanya Caroline.

Eloise melewatkan makan siangnya dan juga makan malamnya barusan. Ia juga akan melewatkan sarapannya tadi pagi jika saja Caroline tidak memaksanya untuk makan. Setidaknya ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu agar perutnya tidak terlalu kosong.

"Aku tidak lapar,"

Caroline menghela napas. Sepertinya Eloise butuh istirahat. "Tidurlah, aku tau kau merasa lelah."

Caroline beranjak dari tempatnya duduk sehingga Eloise bisa membaringkan tubuhnya. "Terima kasih, Caroline."

Caroline mengangguk. "Kau bisa memberitahuku jika kau membutuhkan sesuatu," Ucapnya. "Aku akan kembali ke kamarku."

Dan dengan itu Caroline kembali ke kamarnya, membiarkan Eloise untuk beristirahat. Tubuh Eloise merasa begitu kelelahan padahal hari ini ia tidak melakukan apapun. Ia sangat ingin memejamkan kedua matanya dan terlelap namun otaknya masih terus bekerja, seakan tak membiarkannya untuk beristirahat sejenak. Ia mencoba memejamkan kedua matanya. Semuanya begitu gelap dan sunyi. Namun itu masih tidak cukup. Ia masih tidak bisa terlelap tidur.

Eloise membuka kembali kedua matanya, lantas tersentak kaget ketika melihat Justin yang kini tengah duduk di tepi ranjangnya.

"Apa kau baik-baik saja?"

Dengan perlahan Eloise merubah posisinya menjadi duduk. "Tidak,"

Justin mendekat ke arahnya, ekspresi wajahnya terlihat sedikit cemas. Sepertinya ini untuk yang pertama kalinya ia melihat Justin seperti itu. "Ada apa?"

Dan kini Eloise rasa jika pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling sulit untuk ia jawab. Ia tidak tahu bagaimana cara menceritakannya pada Justin tanpa membuatnya kembali ingin menangis. Mengapa ia menjadi begitu emosional saat ini?

"Mereka memindahkan ibuku," Ucap Eloise. "Ia akan bekerja di luar kota,"

Justin mengernyitkan dahinya. "Apa kau merasa sedih karena itu? Karena mereka memindahkan ibumu ke luar kota?"

"Tidak," Eloise menggelengkan kepalanya. "Aku akan ikut pindah bersamanya,"

"Kau apa?"

Justin nampak begitu terkejut, persis seperti saat pertama kali Eloise mendengar ucapan ibunya saat itu. "Aku akan meninggalkan tempat ini,"

"Kapan?"

"Pekan depan,"

Justin tahu jika hari ini pasti akan datang. Hari di mana Eloise akan keluar dari tempat ini dan meninggalkan dirinya. Namun ia tidak pernah berpikir jika akan secepat ini dan dengan cara yang seperti ini. "Itu sangat.. tiba-tiba."

"Aku tahu," Saut Eloise. "Ibuku akan mengurus semuanya."

"Kemana kau akan pindah?"

"Boston,"

Justin tiba-tiba merasakan sesuatu yang sudah lama ia tidak rasakan. Ia merasa sedih. Eloise akan meninggalkan dirinya. Ini semua terasa sangat salah bagi Justin. Ia tidak seharusnya merasa sedih seperti ini. Justin seharusnya merasa senang karena akhirnya Eloise bisa terbebas dari tempat menyebalkan ini.

"Apa aku masih bisa melihatmu nanti?" Tanya Eloise. "Apa kita masih bisa bertemu seperti ini?"

"Aku sudah memberitahumu. Kau hanya perlu menyebut namaku dan aku-"

Eloise buru-buru memotong ucapan Justin. Bukan itu yang Eloise maksud. "Aku membicarakan Boston," Ucapnya.

Justin diam cukup lama. "Aku tidak tahu,"

Eloise hanya tersenyum seakan sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya. Jika ia tidak bisa bertemu dengan Justin nanti, maka ia ingin menghabiskan hari-hari terakhirnya di sini bersama Justin. Ia ingin mempunyai kenangan yang bisa ia kenang bersama Justin jika ia pindah ke Boston nanti.

"Kita masih memiliki beberapa hari ke depan," Ucap Eloise. "Kita masih bisa melakukan banyak hal bersama sebelum kepindahanku,"

"Kau tidak perlu melakukannya,"

"Mengapa?" Tanya Eloise. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu,"

Eloise tahu jika itu bukanlah hal yang tepat. Menghabiskan banyak waktu bersama Justin sebelum kepindahannya hanya akan membuatnya semakin sulit untuk melupakan Justin nanti.

"Kemarilah,"

Justin membuka lebar kedua tangannya, dan tentu saja Eloise langsung jatuh ke dalam pelukannya. Eloise memejamkan kedua matanya, dan entah sihir apa yang Justin miliki namun hanya dengan memeluknya seperti sekarang ini cukup membuat Eloise merasa tenang. Seakan semua hal yang semula mengganggu pikirannya kini tiba-tiba lenyap dan kedua pundaknya kini terasa jauh lebih ringan. Berada dalam pelukannya adalah tempat yang paling nyaman. Bahkan kini ia mulai merasakan kantuk. Ini semua terasa rumit. Fakta bahwa Justin telah lama mati semakin membuatnya menjadi lebih rumit lagi.

Dari sekian banyak pria di sini, mengapa harus Justin?

Insane | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang