Justin menarik kursi yang berada di belakangnya sehingga kini ia dan Eloise duduk saling berhadapan. Eloise memicingkan matanya begitu melihat kemeja yang Justin kenakan kini terlihat kotor karena bekas darahnya. Sesekali Justin melirik ke arah pergelangan tangan Eloise yang terluka. Darahnya sudah berhenti keluar, dan itu semua berkat Justin. Eloise menyembunyikan pergelangan tangannya di balik punggungnya lantas berdehem kecil untuk sekedar mencairkan suasana di antara mereka berdua.
"Apa aku boleh bertanya padamu?" Ucap Eloise.
Justin mengangguk. "Apapun,"
Dari sekian banyak pertanyaan yang bersarang di benak Eloise, ada satu pertanyaan yang begitu ingin ia ketahui jawabannya. "Mengapa aku?"
Ia tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengatakannya. Justin mengernyitkan dahinya, merasa tidak mengerti dengan pertanyaan Eloise barusan. "Apa?"
"Kau tahu.." Bagaimana Eloise mengatakannya? "Dari sekian banyak orang yang berada di sini.. mengapa aku?"
Justin tersenyum kecil seraya mengangguk-anggukan kepalanya ketika ia menangkap arti dari pertanyaan Eloise barusan. "Aku tidak tahu,"
Eloise memandangi Justin dengan tatapan penuh kebingungan begitu mendengar jawaban Justin. Tentu saja itu bukan jawaban yang Eloise harapkan. Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. "Kau apa?"
"Itu terjadi begitu saja,"
Ucapan Justin hanya membuat Eloise semakin bingung. Sebenarnya, Justin sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa. Itu semua terjadi begitu saja. Justin melihat Eloise secara tidak sengaja dan entah mengapa Justin tahu bahwa Eloise adalah orangnya. Ia tidak menemukan apa yang ia temukan di diri Eloise pada siapapun. Justin tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskannya pada Eloise karena ia sendiri pun tidak mengerti dengan perasaannya.
"Lupakan saja,"
Justin tertawa. Justin tahu jika Eloise merasa tidak puas dengan jawaban yang ia dapat. "Apa ada pertanyaan lain? Mungkin aku memiliki jawabannya,"
Eloise mendengus seraya memutar bola matanya. Ia hanya diam sambil menatap pria yang kini tengah berada di hadapannya. Ia masih sulit menerima fakta bahwa Justin sudah meninggal. Justin terlihat begitu sehat dan bugar. Wajahnya bahkan tidak terlihat pucat seperti kebanyakan mayat yang ia tonton di film horror.
"Jadi selama ini kau nyata,"
Justin menarik kedua tangan Eloise lantas menaruh kedua telapak tangannya di masing-masing pipinya, membiarkan Eloise untuk menyentuh wajahnya. Tentu saja Justin nyata. Justin sama sekali bukan ilusi yang Eloise ciptakan. "Apa kau bisa merasakannya?"
Eloise mengangguk. Ia bisa menyentuh dan merasakan Justin. "Ya,"
Eloise menjauhkan kedua tangannya dari wajah Justin, kemudian beralih pada dada Justin. Ia menaruh telapak tangannya di sana namun ia tidak merasakan apapun. Tidak ada detak jantung. Justin merasa cukup terkejut dengan tindakan Eloise. Apa Eloise tengah memastikan jika ia memang sudah meninggal? Justin hanya tertawa begitu melihat ekspresi wajah Eloise ketika Eloise menyadari jika tidak ada apapun di sana. Apa yang Eloise harapkan?
"Tidak ada kehidupan, bukan?" Ucap Justin.
Eloise menjauhkan telapak tangannya secara perlahan. "Kau memang sudah mati, Justin."
"Berapa kali aku harus mengatakannya padamu?" Ucap Justin.
Ini terasa aneh bagi Eloise. Saat kecil dulu, ia begitu takut terhadap semua hal yang berbau hantu atau semacamnya. Ia bahkan tidak bisa tidur dalam keadaan lampu yang mati. Namun lihatlah ia sekarang. Ia kini tengah berbincang dengan seorang... arwah?
"Tidurlah," Ucap Justin. "Kau harus beristirahat,"
"Jika aku pergi tidur, kemana kau akan pergi?" Tanya Eloise.
"Aku akan mengawasimu di sini,"
"Apa kau selalu melakukannya?"
Kedua alis Justin saling bertautan. "Apa?"
"Apa kau selalu mengawasiku selagi aku tertidur?" Justin mengangguk. "Selama ini?"
"Aku hanya ingin memastikan kau aman," Ucap Justin. "Aku bersumpah jika aku tidak melakukan apapun selagi kau tidur,"
Memastikannya aman? Apa Justin pikir Eloise dalam bahaya? Itu terdengar konyol. "Itu tidak masuk akal,"
"Aku tahu," Saut Justin. "Aku hanya suka melihatmu tertidur pulas,"
Kedua pipi Eloise memanas begitu memikirkan jika Justin selama ini selalu memperhatikannya ketika ia sedang tertidur. "Hentikan, Justin."
Eloise membaringkan tubuhnya, dengan posisinya yang menghadap ke arah Justin. Ia masih ingin berbincang dengannya. "Kau yang memainkan piano itu, bukan?"
"Ya," Justin terkekeh. "Aku senang kau masih mengenali lagunya,"
"Tentu saja,"
"Aku melakukan semuanya untuk membuatmu terkesan," Ucap Justin. "Aku mengganti daftar musik di pemutar musik milikku karena aku tahu kau tidak menyukai musik keras. Aku membuatkan lagu untukmu karena aku ingin membuatmu terkesan,"
Eloise tersenyum. "Kau tahu, bukan, jika kau tidak perlu melakukan itu semua?"
"Aku tahu,"
"Aku minta maaf karena telah mengotori kemejamu," Gumam Eloise seraya menunjuk kemeja yang tengah dikenakan Justin.
"Kurasa aku datang tepat waktu, bukan?" Ucap Justin. "Jangan pernah melakukan itu lagi. Itu membuatku takut, Eloise."
"Apa itu mengingatkanmu akan masa lalumu?" Tanya Eloise. "Kau tahu.. saat kau mengakhiri hidupmu sendiri?"
"Tidak,"
"Lalu?"
"Siapa yang tahu apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak menghentikanmu?" Ucap Justin. "Bagaimana jika kau berakhir sepertiku?"
"Aku hanya butuh.. pelampiasan." Apa Justin berpikir bahwa Eloise berusaha untuk mengakhiri hidupnya sendiri?
"Aku mengerti. Aku pun pernah merasakannya." Ucap Justin. "Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus kehilanganmu,"
"Apa?"
"Aku bisa kehilangan segalanya, Eloise." Gumam Justin perlahan. "Tapi tidak denganmu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Insane | Justin Bieber
Fiksi PenggemarJustin jatuh hati pada Eloise; seorang gadis yang harus menghabiskan musim panasnya di sebuah tempat rehabilitasi. Justin tahu perasaannya sia-sia karena ia tidak akan pernah bisa bersanding dengan Eloise. Tidak sekarang, esok dan selamanya.