Eloise menghabiskan sepanjang hari dengan berbaring di atas tempat tidurnya tanpa melakukan apapun. Ia bahkan melewatkan sarapannya tadi pagi karena ia terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ini semua masih terasa tidak nyata baginya. Ia tidak tahu berapa lama waktu yang akan ia butuhkan agar ia bisa menerima ini semua.
Tentu saja melihat keadaan Eloise yang seperti ini membuat Caroline cemas. Jika Caroline bisa membaca pikiran, Eloise adalah orang pertama yang akan Caroline baca pikirannya. Sesekali Caroline menghampiri Eloise yang terus saja meringkuk di atas ranjangnya. Ia berusaha untuk berbicara dengannya namun Eloise hanya akan menjawabnya dengan sepatah dua patah kata atau pun sebuah anggukan kepala.
Eloise menghela napasnya untuk yang kesekian kalinya. Ia mulai merasa bosan namun ia masih tidak ingin menemui siapapun.
"Eloise?"
Ini untuk yang kesekian kalinya Caroline menengok keadaan Eloise. Ia sebenarnya merasa tidak enak karena terus mengabaikan Caroline seperti itu. Caroline menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati kemudian berjalan menghampiri Eloise. Posisi Eloise bahkan tidak berubah sedikit pun semenjak terakhir kali ia menengoknya beberapa jam yang lalu.
"Kau masih tidak ingin berbicara padaku?" Gumam Caroline. "Apa ini karena sesuatu yang aku lakukan?"
Eloise menolehkan kepalanya agar ia bisa menatap wajah Caroline. Ia semakin merasa tidak enak karena Caroline menyalahkan dirinya sendiri. Tentu saja ini semua bukan salahnya sama sekali. "Tidak, Caroline."
"Apa kau ingin menceritakannya padaku sekarang?" Ada begitu banyak hal yang ingin Eloise ceritakan. Ia hanya tidak tahu bagimana harus memulainya. "Baiklah, aku tidak akan memaksa."
Eloise tersenyum. Ia merasa sangat bersyukur karena Caroline bisa mengerti dirinya. "Aku hanya merasa tidak enak badan,"
Caroline menempelkan telapak tangannya pada dahi Eloise. "Kau sedikit demam," Ucapnya. "Kau ingin aku memanggil suster?"
"Tidak perlu," Saut Eloise. "Aku hanya perlu beristirahat dan demamnya akan hilang,"
"Aku akan meninggalkanmu sendirian," Ucap Caroline. "Jika kau mencariku, aku ada di taman belakang."
Taman belakang. Eloise sudah lama sekali tidak pergi ke taman. Ia rasa pergi untuk berjalan-jalan sebentar ke taman belakang adalah ide yang bagus. Lagipula ia merasa muak jika harus terus berada di kamarnya.
"Aku ikut,"
Caroline mengernyitkan dahinya. "Tapi kau butuh istirahat,"
Eloise menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian badannya. "Aku sudah beristirahat sepanjang hari,"
Caroline terkekeh. "Ayo,"
Eloise rasa dengan berjalan-jalan sebentar bisa membuat pikirannya menjadi sedikit lebih tenang. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari Justin. Setiap kali ia menatap setiap sudut kamarnya, ia selalu mengingat Justin. Bagaimana tidak? Ia bertemu dengan Justin untuk pertama kalinya di sana dan belum lagi dengan malam-malam yang ia habiskan untuk mengobrol bersama Justin. Ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya.
Begitu Caroline dan Eloise keluar dari lift, mereka di sambut dengan keadaan lorong yang terlihat ramai. Ini masih akhir pekan. Tentu saja orang-orang memilih untuk menghabiskan waktu mereka di luar di bandingkan dengan berdiam diri di kamar. Caroline melangkah terlebih dahulu yang kemudian di susul oleh Eloise yang berjalan tepat di belakangnya.
Eloise menghentikan langkahnya ketika ia melihat sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka yang berada persis di sebelah kanannya. Itu ruang musik.
"Eloise? Ada apa?"
"Aku ingin ke ruang musik sebentar," Ucapnya. "Aku akan menyusulmu nanti,"
Caroline hanya mengangguk lantas kembali melanjutkan langkahnya menuju taman sementara Eloise berjalan menuju ruang musik. Ia membuka pintunya lebih lebar, lantas melangkah masuk ke dalam. Ruangannya kosong dan entah mengapa itu membuatnya merasa lega. Seperti biasa, Eloise berjalan menuju alat musik favoritnya yakni sebuah piano yang berukuran cukup besar.
Ia hanya duduk seraya memandangi piano yang berada di depannya saat ini. Ia sebenarnya sedang tidak ingin memainkan alat musik apapun namun entah mengapa kedua kakinya menuntunnya untuk kemari. Jemarinya mengelus lembut tuts pianonya sementara bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis. Ia mulai menekan tuts-nya secara acak, sehingga menimbulkan bunyi yang tak beraturan. Eloise rindu memainkan benda itu.
Ia lantas beranjak dari kursinya. Caroline pasti sudah menunggunya di taman. Mungkin ia bisa bermain pianonya lain kali. Ia tidak ingin membuat Caroline menunggu. Di saat ia baru berjalan beberapa langkah, pianonya berbunyi. Hal itu secara otomatis membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh ke belakang namun tidak mendapati apapun. Ia hanya mengangkat kedua bahunya lantas kembali meneruskan langkahnya. Mungkin ia hanya salah dengar saja.
Ketika Eloise berhasil meraih gagang pintunya, pianonya kembali berbunyi. Kali ini lebih lama dari yang pertama. Eloise hanya diam mematung di tempatnya. Pianonya memang berbunyi sebentar, namun Eloise rasa ia mengenali nada itu. Ia seperti familiar dengan nada barusan. Ia berusaha mengingat-ingat di mana ia mendengar nada barusan sampai akhirnya ia sadar jika itu adalah lagu yang Justin ciptakan untuknya. Pantas saja Eloise merasa tidak asing dengan nada itu.
Di saat Eloise tengah larut dalam lamunannya, pianonya berbunyi kembali namun kali ini lebih lama dari yang sebelumnya. Kini Eloise mengerti. Justin pasti tengah berada di sini sekarang hanya saja Eloise tidak mampu melihatnya. Justin berusaha untuk berbicara dengannya. Justin tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan agar Eloise mau berbicara dengannya. Eloise masih tidak ingin menemuinya.
"Itu tidak akan berhasil, Justin."
Dan dengan itu Eloise melangkah keluar begitu saja.
|
SOOOOOOO
sejauh ini lagu favorit kalian dari justice apa????mine are peaches, there she go, loved by you 🔥🔥🔥🔥 semua enak sih gangerti lagi 😭😭😭😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Insane | Justin Bieber
Fiksi PenggemarJustin jatuh hati pada Eloise; seorang gadis yang harus menghabiskan musim panasnya di sebuah tempat rehabilitasi. Justin tahu perasaannya sia-sia karena ia tidak akan pernah bisa bersanding dengan Eloise. Tidak sekarang, esok dan selamanya.