"Kau menyayangi adikmu,"
Begitu sesi grup terapinya selesai, Eloise langsung bergegas ke kamarnya karena ia tahu Justin pasti tengah menunggunya di sana. Dan dugaannya memang tepat. Begitu Eloise sampai di kamarnya, ia mendapati Justin yang tengah duduk di atas ranjangnya dengan sebuah buku yang berada di pangkuannya. Eloise tidak tahu sejak kapan ia berada di kamarnya. Sepertinya Justin sengaja menunggu Eloise hingga sesi grup terapinya selesai.
Justin dan Eloise telah berbincang selama kurang lebih tiga puluh menit. Justin menceritakan semuanya pada Eloise. Ia menceritakan mengenai masa kecilnya, kedua orang tuanya dan bagaimana perlakuan mereka terhadapnya, dan tentu saja mengenai adik perempuannya. Eloise bisa melihat kilatan amarah yang terpancar dari kedua matanya ketika Justin menceritakan mengenai masa kecilnya dan juga kedua orang tuanya. Justin membenci kedua orang tuanya. Bahkan sampai detik ini.
Namun ekspresi wajahnya mulai melembut ketika ia mulai menceritakan mengenai adiknya. Adik perempuan satu-satunya. Ia sama sekali tidak membenci adiknya. Justin sangat menyayangi adiknya. Jika bukan karena adik perempuannya, Justin tidak akan berakhir di tempat ini.
"Sangat," Ucap Justin. "Aku ingin menjadi seseorang yang lebih baik untuknya,"
Justin pikir tempat ini bisa merubahnya menjadi lebih baik. Justin ingin menjadi seseorang yang bisa adiknya banggakan. "Kapan kau terakhir kali bertemu dengannya?"
"Enam tahun yang lalu," Ucapnya. "Saat ia mengantarkanku kemari,"
"Itu terakhir kalinya kau melihat adikmu," Ucap Eloise.
"Ya," Justin mengangguk. "Kadang aku merindukannya,"
"Lalu mengapa kau melakukannya?" Tanya Eloise. "Mengapa kau mengakhiri hidupmu sendiri?"
Justin terkekeh pelan. "Mereka tidak bisa menolongku, Eloise." Ucapnya. "Tempat ini terasa seperti neraka,"
Eloise tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran Justin saat itu saat ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. "Apa.. apa kau menyesali semuanya?"
"Tidak," Ucap Justin. "Jika aku tidak melakukannya, aku tidak akan pernah bertemu denganmu."
Eloise memutar kedua bola matanya begitu mendengar jawaban Justin. "Justin?" Eloise ragu untuk menanyakan hal ini. "Apa.. kau tahu.. apa semua orang bisa melihatmu seperti aku?"
"Tentu saja,"
Oh. Eloise pikir hanya dirinya yang bisa melihat Justin. "Baiklah,"
Justin dan Eloise terdiam sejenak. "Buku ini sangat membosankan,"
Eloise mendengus lantas meraih buku yang berada di pangkuan Justin. Bagaimana bisa Justin mengatakan itu? "Ini salah satu buku kesukaanku,"
Justin memutar bola matanya seraya terkekeh. "Semua buku adalah kesukaanmu,"
Lalu mereka mulai bersenda gurau. Kini Eloise merasa jika ia sudah mulai mengenal Justin, walaupun itu hanya dari sepenggal ceritanya. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika itu semua menimpa dirinya. Sekarang Eloise mengerti mengapa Justin melakukan apa yang ia lakukan.
Di saat Justin dan Eloise tengah asik bersenda gurau, Susane baru saja selesai dengan pekerjaannya. Ia merapikan meja kerjanya sebelum keluar meninggalkan ruang kerjanya. Di tengah-tengah perjalanannya, langkah Susane terhenti ketika ia melihat pintu kamar Eloise yang sedikit terbuka. Itu adalah salah satu kebiasaan buruk Eloise. Ia selalu lupa untuk menutup rapat pintu kamarnya. Susane berjalan mendekati pintu kamarnya.
"Eloise? Kau sedang berbicara dengan siapa?"
Eloise menoleh ke belakang, mendapati Susane yang kini tengah berdiri di ambang pintu kamarnya. "Tidak ada," Ucapnya. "Aku hanya sedang menghapal puisi,"
Susane mengangguk-angguk kecil ketika Eloise memperlihatkannya buku kumpulan puisi miliknya. "Baiklah,"
Eloise menghela napas lega begitu Susane telah pergi. Ia buru-buru beranjak dari ranjangnya untuk menutup pintu kamarnya. "Justin?"
Eloise menatap sekelilingnya. Di saat mereka tengah mengobrol, Justin menghilang begitu saja. Tentu saja itu membuatnya kaget. Sepertinya Justin tahu akan kedatangan Susane.
"Apa ia sudah pergi?"
Eloise terperanjat kaget begitu mendengar suara Justin yang mengalun dari belakang tubuhnya. "Kau membuatku kaget,"
"Aku minta maaf,"
"Mengapa kau menghilang begitu saja?" Tanya Eloise.
"Aku tidak ingin Susane melihatku,"
"Tapi kau ti- tunggu dulu. Darimana kau tahu namanya?"
Oh, sial. Pikir Justin. Eloise pasti kini akan bertanya mengenai hal itu. Justin buru-buru angkat bicara sebelum Eloise mengatakan apapun. "Aku bisa menjelaskannya,"
Eloise melipat kedua tangannya. "Baiklah,"
"Dulu Susane adalah dokterku," Ucap Justin. "Aku ditangani olehnya saat itu,"
Eloise nampak terkejut mendengar ucapan Justin. Jika Susane menangani Justin enam tahun yang lalu, itu berarti Susane mengenal Justin. "Lalu mengapa kau pergi?"
"Apa kau ingin Susane melihatku?" Ucap Justin. "Apa kau pikir ia ingin melihat seseorang yang telah mati?"
Ah, Justin benar. "Maaf, aku terkadang lupa jika kau sudah mati."
Justin tertawa. Entah mengapa ucapan Eloise barusan terdengar begitu lucu baginya. "Apa kau pikir Susane masih mengenalimu?" Tanya Eloise. "Bagaimana jika aku bertanya padanya mengenaimu? Apa ia masih akan ingat denganmu?"
"Tidak, Eloise." Ucap Justin. "Jangan lakukan itu,"
"Apa? Mengapa?"
"Kau pikir ia akan mempercayai ucapanmu?"
"Mungkin?"
Kini ekspresi wajah Justin terlihat lebih serius. "Kau tidak boleh menceritakanku pada siapapun termasuk Susane," Ucapnya. "Jika kau melakukannya, kau tidak akan pernah bisa melihatku lagi."
Eloise terlihat begitu terkejut mendengar ucapan Justin. "Apa kau baru saja mengancamku, Justin?"
"Tidak," Justin mengusap wajahnya. "Ia akan menjauhkanmu dariku,"
Eloise tidak mengerti dengan ucapan Justin. Bagaimana bisa Susane menjauhkannya dari Justin?
"Kau pikir begitu?"
"Tentu saja," Saut Justin. "Ia akan memberikanmu obat-obatan lalu aku tidak bisa melihatmu lagi."
Eloise hanya bisa mendengar keseriusan dari nada bicaranya. Ia sedang tidak bergurau. Eloise hanya diam tanpa mengatakan apapun. "Aku tidak akan menceritakan apapun pada Susane."
Justin tersenyum. Lagipula, Eloise masih ingin bertemu dengan Justin.
|
a filler chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Insane | Justin Bieber
FanficJustin jatuh hati pada Eloise; seorang gadis yang harus menghabiskan musim panasnya di sebuah tempat rehabilitasi. Justin tahu perasaannya sia-sia karena ia tidak akan pernah bisa bersanding dengan Eloise. Tidak sekarang, esok dan selamanya.