"Dia minta cerai." Aku menatap Maira tanpa senyum, reaksi penolakan dan kata perpisahan dari Yura sungguh tak terduga.
"Bagus, akhirnya dia menyerah." Gadis berambut sebahu itu menyeringai.
"Tapi aku tidak suka, bila perlu akan kutempatkan beberapa pengawal di rumahku."
"Ade, jangan berlebihan. Menurutmu dia akan mati di tempat tidurmu begitu? Aku senang dia masih waras." Kata-katanya begitu tajam dan aku sudah terbiasa.
"Aku tidak akan melepaskannya," geramku, Maira menatap sinis entah kenapa dia seakan begitu bahagia mendengar aku terancam menjadi duda.
"Dia berhak bahagia dan kau tak bisa memberikan itu," desisnya menggeser kursi, berniat pergi.
"Tapi dia membuat aku puas."
Maira menyipitkan mata menatapku, nampak sekali seringainya seperti cemooh yang nyata.
"Hanya aku yang bisa memahamimu sepenuhnya. Ketika kau bersama orang lain itu namanya penyiksaan, dan KDRT. Kau bisa dipenjara karena itu."
"Dia hamil."
Bahu Maira menegang menatapku tajam, raut terkejut yang nyata.
"Dan kamu masih memperkosanya?"
Blam!
Aku terpana dengan napas sesak melihat daun pintu yang tertutup dengan keras.
Hening, ruang ini kembali senyap. Kusandarkan kepala di kusi menatap langit-langit kamar.
"Jangan sentuh!" Kepanikan itu lebih jelas dari biasanya. Membuatku semakin bergairah. Malam berlalu dengan memuaskan ketika jerit kesakitannya bagai dendang lagu lama yang bergaung di telingku.
Aku tahu ada yang salah denganku. Tapi aku menikmati itu.
Dia hamil, dia tidak boleh hamil. Aku tidak akan pernah ada di posisi orang tua itu. Ketika seorang bocah menatap dengan tuduhan yang nyata. Itu yang kulakukan selama bertahun-tahun. Sampai sepasang kaki ini bisa berdiri sendiri.
Setelah selesai meeting iseng aku mengirimi dia pesan akan terlambat pulang. Apakah yang dia pikirkan? Mungkinkah dia mendoakan seribu keburukan terjadi padaku. Bisa jadi, ya. Karena ketika bersamanya aku bisa merasakana aura takutnya berputar jadi perisai dan membuatku ketagihan.
Yura, gadis pendiam dan penurut itu akan selamanya jadi milikku. Sejak pertama kali melihatnya bekerja di kantorku, ketertarikan dalam hati ini tak bisa ditolak. Biasanya orang seperti Yura selalu mengedepankan kebahagiaan orang lain. Dia tipe wanita yang memilih menderita diam-diam.
Sementara ini aku tidak perlu khawatir dia akan melarikan diri. Reaksinya tadi malam hanya sebentuk penolakan lemah yang tak perlu kupikirkan. Mengingat kedua orangtuanya yang jelas berharap banyak pada pernikahan ini, dia akan tutup mulut. Entah sampai kapan.
Ya, semoga saja begitu.
Saatnya pulang aku merindukan tatap polos yang ketakutan itu. Sebenarnya beberapa minggu ini berjalan kurang menyenangkan. Ada orang lain di rumah, adik Yura. Semoga mereka segera pindah dan aku tak perlu terus berpura-pura di depannya.
***R.N***
Aku mendengar dari tangga, suara Yana dengan rasa penasarannya. Sedikit cemas mendengar apa yang akan dikatakan oleh Yura. Seperti dugaan, dia akan menyimpan lukanya sendiri.
"Yura?" Kuarahkan tatapan dingin dan dia selalu terintimidasi, itu akan membuat dia berpikir ulang bila sampai membocorkan rahasia tentang ranjangku, ranjang kami.
"Untung Bang Ade pulang." Yana tersenyum ke arahku. Senyum yang tak pernah lagi mereka dari bibi Yura ketika bersamaku, tapi dia tak perlu itu untuk menyenangkanku.
Yana berlanjut dengan ocehannya agar aku menjaga kakak kesayangannya, sementara tanganku melingkar di bahu Yura, menekan luka-luka yang tercipta di tubuh pengantinku.