"Aku ... mau ke tempat Yana tadi dia menghubungiku."
"Koper itu?"
Dia berani berbohong.
"Hmmm rencananya aku ingin menginap."
"Tidak minta izin padaku?" Aku tak percaya ini.
"Aku berniat melakukannya ...."
"Kau tidak pandai berbohong, Yura. Karena itu aku memilihmu." Dari mana dia dapat kekuatan untuk mencoba kabur? Kejadian ini benar-benar membuatku ingin meledak.
"Kembali ke kamar!"
Wajahnya mendung sebentar lagi tangis sialan itu akan tumpah. Dia menyeret koper kembali ke dalam tanpa bantahan. Itu lebih baik untuk menurunkan emosiku.
"Buka bajumu!" Dia harus diberi pelajaran agar tak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
"Sekarang!"
Dia gemetar, aku mengenal setiap reaksinya dengan baik. Ketika aku memulai bermain dengannya. Aku merasa menang di saat-saat seperti ini, bahwa dia adalah milikku yang bisa keperlakukan sebagaimana aku mau.
"Aku tidak akan bermain kasar, hanya memberi sedikit pelajaran." Lalu jeritannya melengking ketika aku menggigit keras dadanya yang lembut, kemarahan menguasai membayangkan dia nyaris kabur.
Aku menatapnya dengan puas, wajah sembab yang basah oleh air mata. Tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang memiliki tanda versiku di mana-mana.
"Jangan coba-coba kabur, kau tidak akan suka dengan apa yang bisa kulakukan." Matanya membalas tatapanku takut-takut.
"Apakah kau ingin membunuhku? Kalau begitu lakukan saja sekarang."
Dia sudah mulai pintar bernegosiasi bahkan tentang nyawanya.
"Kau istriku, tugasmu memuaskanku." Aku menatapnya tajam.
"Kau memperlakukanku seperti pelacur, Pak Ade. Bukan istri," geramnya membuat kemarahan kembali berputar di kepalaku. Ya, itu memang benar, aku tidak memperlakukan dia dengan normal karena laki-laki itu memperlakukan Mama dengan cara yang sama.
"Hati-hati dengan ucapanmu, Yura. Aku tidak melarangmu kemanapun, kecuali ingin kabur," tekanku.
"Benar begitu, kan? Kalau kau memperlakukan aku dengan baik aku takkan kabur." Nadanya sinis, sepertinya tubuh rapuh ini sudah mulai berani, ini mengkhawatirkan.
"Hentikan, atau kau ingin aku menunjukkan bagaimana caraku memperlakukan pelacur?"
Astaga, aku harus bisa memastikan dia takkan kabur lagi. Seharusnya kubiarkan saja dia pergi tapi tidak, itu akan menggangguku. Entah kenapa dia selalu mengganggu sejak pertama kali melihat wajahnya di kantor.
Dia tidak menjawab, rambutnya berantakan, mata yang dinaungi bulu mata lentik itu terpejam. Hidungnya memerah, bibir penuh itu terkatup kelihatan menggoda meskipun sedikit bengkak oleh perbuatanku. Dia cantik.
"Aku akan menempatkan beberapa pengawal di rumah ini agar kau tak lagi mencoba melarikan diri."
"Pengawal?" Tak disangka mata itu terbuka memperlihatkan binar cokelat yang terkesan redup itu.
"Satpam," ralatku. Belum saatnya tahu siapa aku, bahwa dalam keluarga besar Wijaya, tidak ada satpam hanya pengawal. Meskipun memiliki arti yang hampir sama tapi itu menunjukkan sebuah perbedaan yang nyata bagiku di kalangan kami hanya ada pengawal, bukan satpam.
Setelah yakin sudah berpakaian rapi aku menyambar tas kantor memasukkan map yang kuperlukan dan pergi. Berlama-lama dengan wanita ini membuat tingkat kewarasanku berkurang jauh, dia cantik dan menggoda.