"Hai, Bro. Bagaimana kabarmu?" Dia merangkul, aku melepaskannya cepat. Kenapa pula dia datang ke sini?
"Kapan kau pulang?"
Aku duduk di kursi sedangkan Edo mengikuti duduk di salah satu kursi di ruanganku itu. Dia anak dari nenek sihir yang jadi istri laki-laki itu sejak mama meninggal, atau bahkan sebelum Mama meninggal mereka sudah memiliki hubungan gelap, menjijikkan.
Edo study di luar negeri, kami jarang sekali komunikasi. Bagiku tidak ada hubungan yang patut dijalin dengannya. Ibunya sudah merampas hak Mama. Itu tak termaafkan. Meskipun begitu, aku tidak pernah menunjukkan ketidak sukaan padanya. Dia hanyalah seorang anak yang bahkan ketika tumbuh tidak bersama kedua orangtuanya. Ya, Edo beruntung memiliki nenek dari ibunya. Sehingga masa lalu yang buruk tak perlu jadi miliknya.
"Beberapa hari yang lalu. Ternyata kau sudah menikah, ya, Kak? Dan orang rumah tak ada yang tahu alamat barumu," ucapnya meneguk minuman yang telah tersedia di meja.
"Tidak ada yang perlu tahu," potongku cepat.
"Papa ...."
"Itu papamu," ralatku serius membuat dia meringis.
"Baiklah, baiklah. Entah kejadian apa yang akan membuat kalian berbaikan nanti." Dia mengangkat tangan sambil tertawa.
"Aku tidak akan pernah berbaikan dengannya."
Aku menyalakan laptop memeriksa kalau ada email yang masuk.
"Terserah kalian berdua, sekarang aku ingin ke rumahmu, Kak. Bawa aku ke sana," pintanya membuat tatapanku beralih dari layar laptop ke wajah yang selalu kelihatan ceria itu.
"Untuk apa?" Aku menyipitkan mata.
"Bertemu kakak iparlah, mau apa lagi?"
"Tidak perlu," tegasku kembali menatap layar laptop.
"Aku memakasa Kak."
Dia memang keras kepala, percuma berdebat dengannya. Mungkin sudah saatnya Yura mengetahui kalau aku punya saudara.
"Baiklah, aku akan meeting dulu. Silahkan bila berkenan menunggu."
"Tidak masalah," jawabnya santai mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sementara aku melangkah menuju ruang meeting, Hamdi s
dan yang lainnya sudah menunggu di sana.Satu jam kemudian aku dan Edo sudah di dalam mobil. Pemuda tampan yang memiliki sedikit kesamaan denganku itu tampak ceria.
Aku menyetir mobil dengan diam, apa reaksi Yura bila melihat Edo, apa yang akan dia lakukan.
"Apakah dia cantik, Kak?" Pertanyaan Edo memecah kesunyian, membuatku membayangkan bagaimana wajah Yura yang tak lagi tersenyum.
"Ya," jawabku pendek.
"Aku semakin penasaran."
"Jangan menggangu dia seperti kau mengganggu wanita-wanitamu, mengerti?" Dia memang harus diperingatkan, rekor palyboy telah melekat padanya sejak dia masih SMP.
"Ya, ampun, tentu saja tidak. Dia kakak iparku," tawanya berderai.
Mobil memasuki pekarangan, kami ke luar. Irwan menundukkan kepala, reaksinya yang tak biasa menarik perhatianku. Bi Marni juga berdiri tegang di samping pintu masuk.
Ada apa?
Sesuatu terjadi lagi?
Edo melangkah masuk begitu saja, mengabaikan Bi Marni yang sepertinya hendak berbasa-basi.
"Panggil Yura Bi," perintahku menuju sofa kosong di ruang tamu.
"Maaf, Tuan. Nyonya pergi, katanya tadi sebentar."